TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri menyatakan modus operandi mafia migas mengalami pergeseran. Dalam wawancara dengan Tempo, ia mengungkapkan setidaknya ada tiga modus baru mafia ini.
Pertama, terjadi pergeseran fokus. Bila awalnya hanya berfokus pada penyelewengan di sektor hulu migas, sekarang para pemain dalam industri ini memilih modus bisnis di sisi hilir.
"Sekarang modus bisnis mafia makin ke hilir karena menjanjikan sekali," kata Faisal dalam wawancara dengan Tempo di Jakarta, Rabu, 19 November 2014. (Baca: Bersih-bersih Sektor Migas, Faisal Ajak Teten)
Menurut Faisal, modus operandi mafia pada sepuluh tahun silam masih berkutat pada sektor hulu. Sebab, saat itu Indonesia masih sebagai negara pengekspor minyak dengan konsumsi yang masih lebih rendah dibandingkan produksi, yakni 390 ribu barel per hari banding 1,6 juta barel per hari.
Sekarang Indonesia dominan melakukan kegiatan impor minyak mentah maupun produk bahan bakar minyak. Dengan produksi hanya sekitar 741 ribu barel per hari, konsumsi justru melonjak dua kali lipat mencapai 1,6 juta barel per hari. "Ada selisih 741 ribu barel per hari, dikalikan US$ 5 per barel saja sudah US$ 3,5 juta per hari, lebih menguntungkan," ujarnya. (Baca: Basmi Mafia Migas, Target Faisal Basri Enam Bulan)
Namun pemberantasan di sisi ini, menurut dia, cenderung lebih mudah. Selama ini kegiatan importasi minyak oleh PT Pertamina dilakukan oleh Petral, anak usaha yang berbasis di Singapura. Tim, menurut dia, bisa merekomendasikan pembenahan mekanisme jual-beli minyak pada institusi tersebut.
"Kami tidak prejudice. Kalau Petral ada gunanya, kenapa harus dibubarkan? Masalahnya hanya memperbaiki mekanisme agar lebih transparan dan akuntabel," ujar Faisal.
Selanjutnya: Mafia Migas Kuasai Pemangku Kebijakan Industri Migas