TEMPO.CO, Jakarta - Penipuan di media sosial semakin marak seiring dengan bertambahnya pengguna perangkat bergerak. Sebut saja Deny, 40 tahun, yang akun Facebook-nya diretas beberapa jam pada Senin, 17 November lalu. Beberapa teman Deny diminta si peretas mentransfer sejumlah uang.
Pelaku menghubungi teman-teman Deny via inbox dan menyatakan anggota keluarganya memerlukan uang untuk membiayai operasi ginjal sebesar Rp 10 juta. Ayu, salah satu penerima pesan itu, merespons dan sempat menyatakan sanggup mentransfer Rp 5 juta.
Chitchat berlangsung hingga muncul kecurigaan ketika nomor rekening bank yang diberikan si pembajak akun bukan atas nama Deny, melainkan Abdillah.
Direktur Senior Consumer Business Asia Pacific Trend Micro—penyedia sistem keamanan digital—Terrence Tang menyatakan penipuan di media sosial semakin populer, selaras dengan rutinitas orang-orang dalam menjelajah di media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. (Baca: Waspada, Ini 9 Modus Penipuan di Internet)
Menurut laporan penelitian oleh Webcertain Group, jumlah pengguna media sosial di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan akan mencapai 1 miliar pada akhir tahun ini. Angka itu hampir lima kali lipat dari jumlah pengguna media sosial di Amerika Utara. (Baca: Waspadai Serangan Phishing)
Country Leader Trend Micro Indonesia Dhany Sulistyo menambahkan, peretas juga sering memalsukan game populer, seperti Flappy Bird, untuk melakukan kejahatan di dunia maya. "Game tersedia bebas di toko online, pengguna Internet pun semakin mudah dijebak," kata Dhany. (Baca: Tren Baru Pencurian Data dan Sistem)
Berdasarkan data internal Trend Micro, pada Januari-Juli 2014 tercatat lebih dari 400 insiden pembobolan data. Dan, di Indonesia, jumlah malware meningkat lebih dari 200 persen. "Ini baru kasus yang terjadi di perbankan," katanya.
Motif peretas pun beralih, bukan lagi merusak sistem di perusahaan, melainkan mendapat keuntungan ekonomi. Pelakunya pun tidak lagi melulu “si jenius”, tapi juga peretas biasa-biasa saja yang mempelajari cara ngehack lewat tool dan peranti lunak yang dijual bebas dengan harga yang terjangkau.
Lalu, bagaimana agar Anda atau perusahaan Anda terhindar dari penipuan online? Terrence mengatakan pengguna harus selalu memeriksa sumber link dan aplikasi dalam post, mengubah password media sosial secara teratur, dan menggunakan aplikasi keamanan terkemuka.
Juru bicara Google Indonesia, Jason Tedjasukmana, juga menyatakan hal senada. Pengguna akun Gmail atau Google+ diminta menggunakan password yang unik dan kuat: kombinasi huruf dan angka. "Pastikan membuat password yang berbeda antara satu akun dan akun yang lain," kata Jason, Rabu lalu.
Menurut Jason, Google sepenuhnya berusaha mencegah spammer, scammer, dan hacker dengan teknologi proteksi akun yang canggih. "Sistem pengamanan Google bekerja dengan analisis risiko yang kompleks guna menentukan apakah benar Anda yang tengah mencoba masuk (sign in) ke akun pribadi Anda."
MARTHA WARTA SILABAN
Berita penting lain:
Di Singapura, Kaesang Ingin Makanan Seenak Miyabi
Wah, Indonesia Krisis Radioisotop Medis
Bikinan Zaman Belanda, RUU KUHP Jadi Prioritas
JK Tak Persoalkan UKP4 Kini di Bawah Seskab