TEMPO.CO , Yogyakarta: Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fathorrahman, menyebut pentas musik jazz, Ngayogjazz, di Yogyakarta seperti sebuah pengajian yang egaliter. Fathorrahman merupakan penikmat Ngayogjazz yang tak pernah absen datang menikmati musik jazz, yang digelar sejak 2007.
Menurut Fathorrahman, Ngayogjazz memiliki tuntunan seperti dalam Islam, yakni ada penonton sebagai jemaah dan musisi sebagai mubalighnya. Ngayogjazz menjadi pentas musik yang egaliter karena melibatkan interaksi antara pengunjung, musisi, dan masyarakat yang desanya menjadi tempat kegiatan itu. “Semuanya lebur dalam dunia Ngayogjazz. Tak ada sekat,” kata dia dalam acara jumpa pers Ngayogjazz 2014 di Cafe Momento Yogyakarta, Kamis, 20 November 2014. (Baca juga: Musisi Eropa Akan Meriahkan Ngayogjazz 2013)
Pentas musik Ngayogjazz, kata Fathorrahman, tidak seperti pentas musik konvensional. Pentas ini menampilkan ciri khas musik masing-masing daerah untuk menunjukkan kelokalannya.
Fathorrahman menyatakan semua orang bisa menikmati musik jazz secara bebas. Mereka bergabung dan menanggalkan profesinya.
Ngayogjazz kali ini merupakan pentas seni tahun kedelapan yang digelar di desa wisata Brayut, Pendowoharjo, Kabupaten Sleman, Sabtu, 22 November 2014. Panggung Ngayogjazz pertama digelar 2007. Inilah panggung jazz terbesar di tanah air setelah Java Jazz.
Ngayogjazz tahun ini berjudul Tung Tak Tung Jazz, yakni bebunyian yang dilisankan yang menggambarkan kegembiraan. Tung Tak Tung Jazz merupakan rangkaian bebunyian dari alat musik tradisional, satu di antaranya kendang. Alat musik ini biasanya diperdengarkan sebagai intro atau mengawali sebuah acara. “Ngayogjazz berharap menjadi awal untuk regenerasi musisi jazz Indonesia,” kata tim kreatif Ngayogjazz 2014, Aji Wartono.
SHINTA MAHARANI
Berita lain:
Mayat Wanita di Bandara, Pria Ini Diburu Polisi
Ini Cara Mabes Polri Tes Keperjakaan Calon Polisi
Jokowi-Ahok Bercanda Usai Pelantikan