TEMPO.CO, Brazzaville - Pada zaman yang sudah sangat maju ini, ternyata posisi wanita masih sangat terancam di Kongo. Berdasarkan data yang dirilis untuk memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional, dilaporkan setidaknya 48 perempuan diperkosa setiap satu jam di negara itu. (Baca: 3.000 Orang Jadi Korban Kekerasan Seksual di Kongo)
Dalam sebuah laporan dokumen berjudul "Fearless Voices", wanita Kongo dipaksa menjadi pelacur untuk memuaskan hasrat para lelaki. Pelakunya datang dari berbagai lapisan masyarakat, dari pria hidung belang hingga para tentara.
Baca Juga:
"Ini adalah negara yang paling berbahaya untuk wanita. Para korban kekerasan seksual dianggap tidak berharga setelah diperkosa. Adapun pelakunya dapat melanjutkan hidup tanpa konsekuensi yang berarti," kata Lulu Mitshabu dari organisasi sosial Caritas di Australia yang ikut menulis laporan itu, seperti dilansir dari News.com.au, Rabu, 26 November 2014.
Data itu dikumpulkan saat Mitshabu datang ke Kongo sejak 24 tahun yang lalu. Ia mewawancarai semua wanita yang ada di Provinsi Kivu, salah satu daerah yang paling rentan. "Lebih dari 50 wanita yang saya wawancarai, mereka menyatakan hal yang sama. Mereka merasakan bahwa kekerasan pada wanita semakin meningkat," kata Mitshabu. (Baca: Warga Kongo Makan Jasad Terduga Teroris)
Salah satu kasus yang paling memilukan adalah saat seorang bocah 11 tahun diperkosa oleh tetangganya sendiri. Untuk menutupi aksinya, tetangga itu berbohong dan menyebutkan bahwa luka pada kemaluan si bocah disebabkan jatuh dari pohon.
"Pelaku malah hidup dengan tenang dan seperti tidak ada rasa jera sama sekali," kata Mitshabu.
Kasus lain, Mitshabu juga bertemu dengan seorang gadis yang diperkosa serta dipaksa menjadi pelacur dan pembantu rumah tangga sejak usianya masih belasan tahun. Dia diperkosa hingga hamil dan terpaksa melahirkan anaknya tanpa keluarga yang mendukung. "Di Kongo, wanita yang telah diperkosa dianggap tidak berharga lagi," kata Mitshabu.
Dengan dirilisnya data ini, Mitshabu berharap dunia akan lebih sadar akan kekerasan terhadap perempuan. Bagi Mitshabu, wanita seharusnya menjadi manusia yang bermartabat dan memiliki potensi. "Dan, ketika mereka mengalami kekerasan seksual dan perang, inilah saatnya dunia untuk bertindak," kata Mitshabu.
NEWS.COM.AU | RINDU P. HESTYA
Berita Lain:
Jokowi Kian Jauh Tinggalkan Obama di Polling Time
Polisi Ferguson Tak Dituntut, Massa Mengamuk
3 WNI Korban Ledakan Tambang Sarawak Dipindahkan