TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mencatat hingga kini belum semua perusahaan eksportir yang memenuhi kewajiban melaporkan devisa hasil ekspornya (DHE). Sejak Januari 2012 hingga September 2014, pemenuhan kewajiban pelaporan DHE baru mencapai 80 persen.
“Terutama disumbang oleh sektor non-migas 82 persen dan sektor migas hanya 67 persen," ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia Wiwiek Sisto Widayat di kantor Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 2 Desember 2014.
Dari 80 persen eksportir tersebut, dilaporkan devisa hasil ekspornya sebesar Rp 398,5 miliar dengan nilai ekspor Rp 497,8 miliar. (Baca: Wajib Simpan Devisa di Bank Nasional Perlu Kehati-hatian)
Wiwiek menuturkan prinsip dasar ketentuan itu mewajibkan devisa hasil ekspor (DHE) disetorkan ke bank devisa dalam negeri. Selain itu, DHE yang diterima harus sama dengan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB). "Dan tidak ada kewajiban melakukan konversi ke rupiah dan disimpan dalam waktu tertentu." Untuk waktu penerimaan DHE, wajib dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran PEB.
Bila eksportir tidak melaporkan DHE-nya, kata Wiwiek, ada sanksi administratif yang bakal dijatuhkan berupa denda, yaitu 0,5 persen dari nilai DHE yang belum diterima. "Maksimal Rp 100 juta dalam satu bulan pendaftaran PEB," ujarnya. (Baca: Perbankan Tertantang Sambut PBI Lalu Lintas Devisa)
Apabila denda tidak dibayar, menurut dia, akan dikenai sanksi penangguhan pelayanan ekspor. "Tapi selama ini kami terus upayakan komunikasi, sehingga para eksportir tidak sampai ditangguhkan," tutur Wiwiek.
Selama periode Januari 2012-September 2014, telah ada 773 eksportir yang ditangguhkan. "Alasannya, karena tidak mau melakukan kerja sama dengan kami walau sudah beberapa kali diingatkan," kata Wiwiek.
ODELIA SINAGA
Berita terpopuler:
Risiko jika Jokowi Tenggelamkan Kapal Ilegal
Ini Nama-nama Direksi Baru Pertamina
Empat Poin Penting Aturan Baru Menteri Susi