TEMPO.CO, Denpasar - Pemerintah Indonesia diminta membuka akses yang lebih terbuka bagi jurnalis asing untuk melakukan peliputan di Papua. Desakan itu disampaikan International Partnership Mission to Indonesia, kelompok organisasi internasional dan regional di bidang kebebasan berekspresi, setelah menggelar pertemuan di Denpasar, Bali, Kamis, 4 Desember 2014.
Organisasi yang ikut menandatangani pernyataan adalah Article 19, Committee to Protect Journalists (CPJ), Freedom House, International Federation of Journalists (IFJ), International Media Support, Open Society Foundations Programme on Independent Journalism, dan Southeast Asian Press Alliance (SEAPA). Pertemuan itu difasilitasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan Tifa.
Jane Worthington dari IFJ Asia-Pasifik mengatakan selama ini memang tak ada larangan resmi bagi wartawan asing ke Papua. "Tetapi jurnalis dipersulit saat mengurus visa dengan berbagai persyaratan," ujar Jane. Michael Karanicolas dari Center for Law and Democracy (CLD) yang berpusat di Kanada menyebut, "Kebijakan itu tidak tepat dan menghambat pemahaman negara lain terhadap Indonesia yang justru merugikan Indonesia sendiri."
Insiden terbaru soal jurnalis asing di Papua terjadi Agustus lalu. Polisi Papua menangkap dua jurnalis Prancis, yakni Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, serta membawanya ke pengadilan karena menggunakan visa turis tapi melakukan kegiatan jurnalistik. Keduanya divonis bersalah dan dihukum 2 bulan dan 15 hari penjara dalam sidang 24 Oktober lalu. Pengadilan ini memicu kecaman dari sejumlah organisasi pers dunia.
Jurnalis Papua, Angela Flassy, menyatakan dibukanya daerah ini bagi jurnalis asing penting bagi warga Papua untuk menunjukkan adanya hak yang sama bagi mereka dalam memperoleh akses ke dunia luar. "Kami heran, karena selama ini di daerah lain jurnalis asing leluasa. Sedangkan di Papua tidak. Padahal kami berada di wilayah hukum yang sama," katanya.
Selain soal jurnalis asing, jurnalis di Papua pun sudah merasa terdiskriminasi, karena setiap menulis hal yang kritis selalu dianggap bagian kelompok separatis. Padahal, tutur Angela, mereka hanya ingin diperlakukan sama dengan jurnalis lain di Indonesia.
ROFIQI HASAN
Berita Lainnya
Ical Ketum Golkar, Peristiwa Tragis Mengiringi
Kubu Ical Ujuk-ujuk Puji Menteri Laoly, Ada Apa?
KPK Bantah Boediono Sudah Tersangka Kasus Century
Jadi Gubernur FPI, Berapa Gaji Fahrurrozi?
Gubernur FPI Tantang Ahok Bikin Survei