TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman membantah anggotanya kerap menggunakan kekerasan untuk memaksa tersangka mengakui kejahatannya. Menurut dia, sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berlaku pada 1981, pengakuan tak lagi dijadikan alat bukti.
"Kalau sebelum 1981, ya, mungkin saja. Tapi sekarang untuk apa?" kata Sutarman melalui pesan singkat, Selasa, 9 Desember 2014. (Baca: 3 Alasan Polisi Kerap Menyiksa demi Informasi)
Menurut Sutarman, apabila dalam penangkapan pelaku melawan dan membahayakan jiwa masyarakat, petugas diperbolehkan melakukan kekerasan untuk melumpuhkan. "Kalau seperti itu memang terjadi, kalau untuk pengakuan buat apa?" kata dia. (Baca: Begini Cara 13 Polisi di Kudus Menyiksa Kuswanto)
Kepala Badan Reserse dan Kriminal Inspektur Jenderal Suhardi Alius mengatakan apabila kekerasan itu tetap terjadi dan dilaporkan, maka Divisi Profesi dan Pengamanan wajib menindaklanjuti. "Jika terbukti, harus mendapat sanksi," kata dia.
Sanksi yang diberikan, kata Suhardi, ada beberapa tingkat, mulai dari pelanggaran etika, disiplin, sampai tindak pidana. (Baca: Dituduh Rampok, Pria Ini Disiksa 13 Polisi)
Baca Juga:
Sebelumnya, anggota Komisi Kepolisian Nasional, M. Nasser, mengatakan aparat kepolisian kerap menyiksa tersangka untuk mengejar pengakuan. Hal ini terkait dengan kasus yang menimpa Kuswanto. Ia disiksa 13 anggota kepolisian karena dituduh merampok toko es krim pada 2012. Setahun kemudian, pelaku sebenarnya tertangkap.
TIKA PRIMANDARI
Baca Berita Terpopuler
Susi Tunjuk Lima Samurai sebagai Mafia Garam
Lulung Minta Ahok Tak Anggap Dia Musuh
Skenario Nasib Dua Golkar Menurut Menteri Laoly
Menteri Susi Tangkap 22 Kapal Ikan Cina
Ini Cara Polisi Meringkus Perampok di Taksi Putih