TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk mencabut status tersangka yang menjerat Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, dalam kasus dugaan penistaan agama. "Keputusan kepolisian menetapkan Meidyatama sebagai tersangka karena memuat karikatur ihwal ISIS (The Islamic State of Iraq and Syria) adalah tindakan yang dapat mengancam kebebasan pers," kata Ketua AJI Jakarta Umar Idris dalam siaran persnya, Jumat, 12 Desember 2014. (baca: Pemred Jakarta Post Jadi Tersangka Penistaan )
Kebebasan pers, kata dia, telah dijamin di Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 4 UU Pers, ia melanjutkan, menyatakan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Selain itu, kata dia, Pasal 6 juga mengatur pers nasional melaksanakan peranannya dengan cara melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. "Pasal 8 juga dengan jelas menyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum," kata Umar. (Baca: AJI: Cukup Dewan Pers Hukum Jakarta Post )
Menurut dia, pemuatan karikatur ISIS di Jakarta Post pada 3 Juli 2014 adalah kritik terhadap kelompok radikal tersebut. ISIS, kata dia, memanipulasi ajaran Islam untuk melegitimasi kekerasan dan teror yang mereka lakukan di Irak dan Suriah. "Jika pemuatan karikatur dianggap menggangu kelompok Islam tertentu, pemuatan itu bukan termasuk tindak pidana yang layak dikriminalkan," kata dia. (Baca: Dilaporkan ke Mabes Polri, Jakarta Post Santai)
Lagipula, kata dia, Dewan Pers pada 16 Juli 2014 telah menyatakan karikatur tersebut hanya melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena dianggap mengandung prasangka yang tidak baik terhadap agama Islam. Jakarta Post telah meminta maaf atas pemuatan karikatur itu dua kali lewat edisi online dan koran, pada 7 dan 8 Juli 2014, dan menyatakan tidak akan mengulangi kesalahan serupa. "Jakarta Post bahkan sudah menarik karikatur tersebut," kata dia.
Tindakan Jakarta Post tersebut sesuai dengan UUU Pers dan bukan tindak pidana. Karena itu, dia mendesak polisi agar menyerahkan kasus Jakarta Post ke Dewan Pers.
Menurut Umar, polisi tidak memiliki dasar hukum yang kuat saat menjadikan Pemimpin Redaksi Jakarta Post sebagai tersangka. Langkah ini, menurut dia, juga menunjukan polisi tidak profesional dan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang sedang memerangi paham kelompok radikal yang menggunakan kekerasan hingga pembunuhan atas nama agama seperti ISIS.
"Tindakan Polda juga berpotensi membungkam suara kritis media yang mengkritik penyalahgunaan ajaran agama oleh kelompok tertentu untuk membenarkan kekerasan dan terorisme," ujar Umar.
Polda Metro Jaya menetapkan status tersangka terhadap Pemimpin Redaksi Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat karena diduga melakukan penistaan agama lewat gambar karikatur bendara ISIS yang dimuat di Jakarta Post edisi 3 Juli 2014.
Dalam gambar itu, bendera ISIS yang bertuliskan kalimat tauhid ditambahi tengkorak, dan ada gambar empat laki-laki bercadar siap menembak lima orang yang diikat. Dia diadukan oleh Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta, Edy Mulyadi. (Baca: ISIS Bersumpah Hancurkan Kabah Jika Kuasai Makah)
Meidyatama dijerat Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama, dengan ancaman hukumannya di atas lima tahun. AJI Indonesia menyatakan menolak penetapan tersangka itu.
TRI ARTINING PUTRI
Baca berita lainnya:
Ditemukan, Kapal Selam Nazi Menyusup ke Laut Jawa
Netizen: Fahrurrozi Gubernur FPI sampai Kiamat
Pemred Jakarta Post Jadi Tersangka Penistaan Agama
Kubu Ical Mau Rapat di Slipi, Yorrys: Siapa Lu?
polisi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.