TEMPO.CO, Jakarta - Pasangan yang sudah menikah lebih dari satu tahun, teratur melakukan hubungan intim (dua hingga tiga kali seminggu) tanpa alat kontrasepsi, namun tak kunjung mendapatkan momongan, bisa jadi ada hubungan dengan masalah kesuburan.
Jika pasangan suami-istri sulit mendapatkan keturunan, biasanya banyak pihak menyalahkan perempuan alias istri sebagai mandul atau kurang subur. Faktanya, ketidaksuburan dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan, sebanyak 50 persen penyebab suatu pasangan infertile (tidak subur) adalah pria.
Hal ini diungkapkan dokter spesialis urologi Ponco Birowo dalam acara bincang tentang "Gangguan Urologi, Jangan Malu Periksa ke Dokter" di RS Bunda, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Desember 2014.
Ia mengatakan jumlah pria tidak subur di Indonesia cenderung naik. Menurut data, sebanyak 25 persen pasangan suami-istri gagal mendapatkan keturunan, setelah satu tahun berhubungan intim secara rutin tanpa alat kontrasepsi.
Penyebab infertilitas pria sebagian besar (sekitar 30 persen) tidak diketahui, istilah medisnya disebut idiopatik. Adapula, penyebab yang sudah diketahui, yakni varikokel (14,8 persen), hormon yang rendah (10,1 persen), kelainan bawaan berupa testis tidak turun (8,4 persen), tumor (7,8 persen), penyakit lain (2,2 persen), serta sumbatan saluran air mani (2,2 persen).
Gaya hidup tak sehat juga dapat memperburuk kualitas air mani, yaitu merokok, memakai celana ketat, kurang olahraga, pekerjaan yang berhubungan dengan panas, serta seringnya memangku laptop.
"Bila sering memangku laptop, suhu testis akan meningkat. Padahal, pembentukan spermatozoa membutuhkan suhu 2 derajat lebih rendah daripada suhu tubuh," ujar Ponco, staf pengajar Divisi Urologi Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Untuk itu, para pria disarankan tak melakukan kebiasaan memangku laptop dalam bekerja, jika ingin menjaga kesuburan.
Ponco menjelaskan tentang masalah penyebab ketidaksuburan pria yang kerap ditemui, selain penyebab yang tidak jelas, adalah varikokel (varicocele). Namanya, varises pada testis. Varikokel ini terjadi saat pembuluh darah di sekitar testis, terutama di sebelah kiri, mengalami kelainan dan akhirnya menghasilkan panas.
Varikokel mirip dengan varises vena yang dapat terjadi pada kaki yang sering kita lihat dialami sebagian orang. Kasus varikokel di Indonesia menunjukkan tren meningkat.
Ponco mengaku, dalam satu bulan bisa melakukan 20 sampai 30 bedah mikro untuk kasus varikokel, yang umumnya dialami pria di atas 30 tahun. Penyebab utama varikokel adalah gaya hidup yang tak sehat, seperti merokok atau mengenakan celana jins yang terlalu ketat, selain faktor genetik.
Di Indonesia, varikokel karena unsur genetik diperkirakan mencapai 10 persen. Ponco menjelaskan, varikokel menjadi penyebab umum dari produksi air mani yang rendah dan penurunan kualitas air mani, yang dapat menyebabkan infertilitas.
Varikokel bukan saja mempengaruhi produksi air mani, namun juga bisa menyebabkan testis menyusut. Ironisnya, varises pada penis ini sering tidak menunjukkan gejala.(Baca : Tes Penting Bagi Para Pria)
Dalam kasus yang jarang, varises pada penis bisa menyebabkan rasa sakit, testis terasa berat atau menimbulkan rasa sakit yang tajam. Keluhan itu biasanya akan meningkat saat duduk, berdiri atau melakukan aktivitas fisik, terutama untuk waktu yang lama.
Rasa sakit akan berkurang ketika berbaring telentang. Nah, apabila pria aktif behubungan intim selama setahun, tetapi belum juga dikaruniai anak, maka perlu waspada terkena varikokel. Apakah kondisi varises penis ini bisa diperbaiki? Untungnya bisa, yaitu dengan dilakukan bedah mikro.
Menurut Ponco, operasi ini memberikan keuntungan berupa luka operasi yang kecil dengan angka keberhasilan mencapai 70 persen.
Ponco mengklaim, bedah mikro untuk mengatasi varikokel ini tanpa efek samping. “Pasien tidak perlu rawat inap. Mereka bisa pulang dua jam setelah tindakan," ujarnya. Yang menggembirakan, operasi varikokel tidak mengganggu fungsi keintiman. Artinya, pasien dapat langsung berhubungan intim bila sudah tidak merasakan nyeri lagi, setelah 3 bulan.
EVIETA FADJAR