TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mendesak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk segera merivisi Pasal 81, 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Arist, hukuman bagi pelaku kejahatan tak senonoh selama ini kurang memberikan efek jera, sehingga kejahatan tersebut sulit untuk ditekan.
"Untuk memutus mata rantai kejahatan itu maka hukuman bagi pelaku harus diperberat," kata Arist dalam acara Memperingati 25 Tahun Konvensi Hak Anak dan Perenungan HAM 2014 di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Ahad, 14 Desember 2014.
Arist meminta anggota Dewan dan pemerintah segera merevisi UU Perlindungan Anak dengan memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan tak senonoh minimal 20 tahun, dan maksimal seumur hidup. "Untuk pelaku kejahatan dewasa, maka seharusnya dikastrasi (kebiri) dengan cara suntik kimia.
Menurut UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, Pasal 81 mengatakan pelaku kejahatan tak senonoh akan dipidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta.
Sepanjang Januari hingga Juni 2014, Komnas Perlindungan Anak menerima laporan 1.689 kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 1.879 anak menjadi korban. Dari angka itu, 48 persen di antaranya adalah kejahatan tak senonoh. Lebih memprihatinkan, 16 persen dari jumlah kasus yang dilaporkan itu menempatkan anak sebagai pelaku.
Untuk memutus kejahatan tersebut pada anak, Arist meminta pada penegak hukum untuk mengoptimalkan proses penyidikan bagi kasus kejahatan ini terhadap anak secara proporsional dan profesional. "Optimalisasi proses penyidikan juga seharusnya melibatkan berbagai pihak terkait agar hakim bisa menjatuhkan vonis yang maksimal dan berkeadilan bagi korban," ujarnya.
GANGSAR PARIKESIT