TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo berencana mengganti jatah beras untuk masyarakat miskin (raskin) dengan uang elektronik atau e-money. Peneliti pertanian dari Universitas Andalas, John Parlis, membeberkan sejumlah kelemahan dalam kebijakan e-money.
"E-money rentan disalahgunakan. Apakah ada jaminan rakyat miskin penerima e-money akan membeli beras? Atau malah beli rokok?" ujar John di Jakarta, Senin, 15 Desember 2014. (Baca: 'Beras Miskin' Dimainkan Kartel, KPK Lepas Tangan)
Bahkan, kata John, dari penelitian universitasnya, koversi tersebut bakal mengurangi pembelian beras terhadap petani. "Karena sudah tak ada raskin, maka pemerintah tidak membeli beras ke petani," kata dia. (Baca: Bulog: Peralihan Anggaran Raskin Atas Saran BPK)
Dampak lebih lanjut, jelas John, akan memupus semangat petani memproduksi beras. "Karena petani tak semangat, malas produksi. Efeknya, bisa memicu impor beras," katanya. Menurut dia, dengan impor beras membuat Indonesia ketergantungan dan merusak ketahanan pangan.
Meskipun demikian, John mengemukakan keuntungan lain dari penerapan e-money. Misalnya, lebih efisien dan lebih demokratis. "Tapi jauh lebih besar kerugiannya," kata dia. (Baca: 400 Ribu Ton Beras Murah Tak Sampai ke Rakyat)
Senada dengan John, mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan penghapusan beras untuk rakyat miskin menjadi e-money sebagai tindakan gegabah. Sebab berisiko meningkatkan jumlah rakyat miskin dan mengancam ketahanan pangan. (Baca: Enam Kepala Desa Sumenep Akui Tilap Raskin 500 Ton)
"Negara Eropa malah melihat raskin lebih efektif menjaga ketahanan pangan," ujar Bayu. Negara Eropa, seperti Prancis dan Belgia, dia melanjutkan, kagum dengan Indonesia yang berhasil menjaga stabilitas pangan nasional. "Di Eropa Barat, ada 16 juta orang kelaparan. Bahkan, di Amerika sedang dikaji kupon makanan semacam e-money."
TRI SUSANTO SETIAWAN
Topik terhangat:
Longsor Banjarnegara | Teror Australia | Rekening Gendut Kepala Daerah
Berita terpopuler lainnya:
Surat Sakti Agar Golkar Kubu Ical Disahkan Laoly
Kesaksian WNI Soal Detik-detik Teror di Australia
Kubu Agung Cabut Gugatan Legalitas Munas Bali
Dewan Pers: Kasus Karikatur Jakarta Post Distop