TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Tommy A. Legowo, mengatakan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Perpecahan di parlemen akibat koalisi pemilihan presiden sangat menghambat kerja DPR. (Baca: Perseteruan Jokowi dengan DPR Memanas)
"Bisa dibilang ini lebih buruk dari periode lalu. Baru kali ini di sepanjang sejarah Indonesia ada DPR terbelah," kata Tommy di kantor Formappi, Jakarta, Jumat, 19 Desember 2014. (Baca: Ruhut: Lawan Jokowi, DPR Gantung Diri)
Perpecahan DPR, kata dia, terbentuk setelah pemilihan presiden 9 Juli 2014. Sepuluh fraksi partai politik di parlemen terbelah, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pro-presiden terpilih Joko Widodo dan Koalisi Merah Putih (KMP) pro-Prabowo Subianto. DPR diisi mayoritas pendukung KMP. Namun upaya ini sempat diboikot oleh KIH.
"Fungsi pengawasan terhadap pemerintah berjalan, tetapi dalam kubu yang terbelah. DPR yang harusnya bekerja untuk rakyat justru penuh kepentingan koalisi," kata Tommy.
Menurut Tommy, dengan komposisi sepuluh partai dengan mayoritas atau 56,6 persen anggota baru, semestinya anggota DPR periode saat ini lebih militan, produktif, cerdas, dan beretika. Roh politik ini, kata Tommy, ternyata terbelenggu oleh partai. "Muara sumber masalah tak pernah diubah. DPR kehilangan otonomi sehingga setiap keputusan diambil berdasar kepentingan partai, koalisi, dan koalisi dikendalikan oleh orang tertentu," katanya.
Koordinator Formappi Sebastian Salang mengatakan dualisme di parlemen tak hanya menghambat kerja tapi juga mereduksi ragam keputusan di DPR. Suara anggota Dewan tak lagi mewakili konstituen, melainkan koalisi. "Koalisi dipakai untuk membalas dendam elite. Rakyat tak diuntungkan. Kalau dibiarkan terus-menerus, membuat demokrasi tak jalan," kata Sebastian.
Formappi menyarankan agar Ketua DPR Setya Novanto segera membubarkan koalisi di parlemen, sehingga anggota Dewan punya kekuatan untuk menyuarakan hak rakyat. Jika koalisi tetap ada, Tommy meminta agar pengambilan keputusan di DPR tak lagi dengan sistem voting fraksi, tetapi voting berdasar daerah pemilihan. "Setiap dapil ada 3-10 anggota Dewan. Nah, dari situ akan jelas apakah mereka mendukung konstituen atau tidak," ujar Tommy.
PUTRI ADITYOWATI
Berita lain:
Dihujat FPI Soal Natal, Jokowi Dibela Ketua NU
Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad
Pilot Dimaki Dhani, Garuda: Baru Pertama Terjadi