TEMPO.CO, Yogyakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syafii Maarif mengatakan korban tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, menjadi bagian dari sejarah yang paling berharga dalam periode penanggulangan bencana. "Semua orang melihat longsor Banjarnegara menjadi folklore, cerita hidup dan jadi pelajaran berharga masyarakat," kata Syafii seusai rapat koordinasi bersama Kepala Badan Geologi Surono di Yogyakarta, Kamis petang, 18 Desember 2014.
Syarif menuturkan, saat bencana tanah longsor melanda Kecamatan Banjarmangu, Banajarnegara, pada 1955, jumlah korban tiga kali lipat lebih banyak dibanding di Dusun Jemblung, yakni mencapai 322 orang. Namun, peristiwa di Banjarmangu kurang menjadi pelajaran, sehingga korban dalam jumlah banyak kembali terjadi. Menurut dia, banyak pemukiman yang tak memedulikan kawasan rawan bencana.
"Jika jadi cerita masyarakat dan terus disebarkan, secara kultural kesadaran siaga bencana akan terbentuk," katanya. Kesadaran kultural memudahkan koordinasi tingkat struktural untuk penggulangan bencana. "Presiden Joko Widodo meminta pemerintah daerah kembali melatih masyarakat tanggap bencana," kata Syafii.
Adapun Kepala Badan Geologi Surono menuturkan Banjarnegara merupakan wilayah dengan banyak dataran yang memiliki potensi longsor kategori menengah-tinggi. "Potensi longsor berada di kawasan bertanah subur, kaya air, dan banyak dipilih masyarakat untuk membangun permukiman," ujar Surono. (Baca: 20 Jenazah Longsor Banjarnegara Dimakamkan)
Presiden Joko Widodo menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk segera memasang alat deteksi dini guna mengantisipasi potensi tanah longsor susulan. "Pak Presiden memerintahkan agar kami segera memasang ekstensometer di titik-titik yang masih rawan," ujar Surono.
Esktensometer merupakan alat deteksi dini bencana tanah longsor. Alat ini bukan barang impor, melainkan kreasi Universitas Gadjah Mada bersama Badan Geologi. Dari dua lembaga ini telah disumbangkan 20 esktensometer yang bakal dipasang pada Desember ini. "Mulai pemasangan dari Banjarnegara, Wonosobo-Dieng, lalu merambat ke arah Jawa Barat bagian selatan," kata Syafii. (Baca: Dua Penyebab Longsor Banjarnegara Versi UGM)
Pemilihan titik pemasangan ekstensometer itu mengacu pada data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tentang kawasan yang diprediksi dilanda curah hujan paling tinggi.
"Desember sampai Februari ke depan curah hujan (kawasan Jawa Tengah sekitarnya) berada dalam fase monsunal, yang sangat mempengaruhi potensi longsor untuk dataran curam," kata Syafii.
Pola hujan monsunal ditandai dengan tingginya curah hujan dalam jangka waktu relatif pendek. Adapun prioritas pemasangan ekstensometer di wilayah lain Indonesia akan mengacu pada masterplan peta puncak hujan di berbagai daerah. "Misalnya untuk Maluku, ternyata puncak hujan baru terjadi Juni-Juli," ujar Syafii Maarif.
Mulai Januari 2015, pihak UGM akan mengirimkan lagi 20 unit ekstensometer untuk dipasang di luar Jawa Tengah. "Seluruhnya menggunakan dana siap pakai yang ada di BNPB. Saat ini ada Rp 89 miliar, tapi bukan hanya untuk longsor Banjarnegara saja," kata Syafii. Namun Syafii meminta masyarakat tak terlalu bergantung pada alat tersebut. Sebab, jika warga tinggal di kawasan yang memiliki lereng sangat curam, saat musim hujan, kawasan tersebut diprediksi tetap akan longsor.
PRIBADI WICAKSONO
Terpopuler
Tertinggal Pesawat, Dhani: Pilot Garuda Kampret
JK Ketua Umum PMI, Titiek: Saya Tetap Menang
Kisah Ahok dan Keluarga Saat Diancam Preman Pluit
Rupiah Jeblok, SBY Bela Jokowi