TEMPO.CO, Jakarta- Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut memandang pemecahan persoalan Indonesia dalam bidang maritim dan kelautan tidak sederhana. "Nonsense kalau hanya oleh TNI AL saja, harus secara komprehensif," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Manahan Simorangkir saat dihubungi Tempo, Jumat, 19 Desember 2014. (Menteri Susi Tangkap 9 Kapal Cina di Arafuru)
TNI AL menghadapi kondisi bahan bakar serta armada yang terbatas dalam menjalankan tygas-tugasnya. Ada tiga tugas yang melekat. Pertama, tugas militer, melalui penegakan kedaulatan. Kedua, tugas diplomasi dalam mem-back up pemerintah dan menjalankan latihan bersama negara lain. Ketiga, penegakan hukum. (Menteri Susi Minta Jokowi Tangkap 13 Kapal Asing)
Pemerintah membiayai operasional TNI AL melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, tidak ada tambahan maupun anggaran khusus yang dialokasikan menyusul komitmen pemerintah untuk menangkap maupun menenggelamkan kapal yang melakukan pelanggaran.TNI AL menghadapi tantangan mendasar dalam menjalankan patroli. "Kekurangan bahan bakar," kata Manahan.
Kondisi ini sulit disiasati. Sebagai konsekuensi, kapal-kapal patroli membuang jangkar sambil menunggu informasi, tidak lagi berlayar memutari laut. Manahan menyebut kebutuhan bahan bakar setiap tipe kapal berbeda. (Menteri Susi Lindungi Kapal Vietnam dari Badai)
Ia memberi gambaran. Ada kapal yang membutuhkan 15 ton bahan bakar setiap jam. Sehingga, untuk bisa berpatroli 24 jam dalam satu hari, diperlukan 300 ton bahan bakar untuk satu kapal. "Memang tidak murah," ujar Manahan tanpa merinci detil anggaran yang dikucurkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk bahan bakar kapal.
Saat ini, TNI AL baru mendapat dukungan 30-40 persen untuk total kebutuhan bahan bakar. TNI AL selalu mengajukan kuantum atau kuota kebutuhan bahan bakar kapal. Namun, yang diberikan negara adalah anggaran dalam rupiah. "Sehingga kalau harga naik, dolar naik, bahan bakar juga berubah," kata Manahan. (Lukisan 'Susi Duyung' Ramai di Media Sosial )
Selain persoalan bahan bakar, jumlah armada menjadi persoalan lain. TNI AL membutuhkan lebih banyak kapal untuk berpatroli se-Indonesia, meski bukan selalu harus membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista). "Idealnya sekitar 300-400 kapal," kata Manahan.
Ia menjelaskan, TNI AL memiliki konsep deployment atau pengiriman alutsista, termasuk kapal. Skema yang berlaku adalah 30:30:30, atau masing-masing sepertiga untuk operasional, stand by atau berjaga-jaga, dan menjalankan pemeliharaan.
"Dengan jumlah kapal sekitar 157-160, yang ada di lapangan sekitar 60-70 kapal," ucap Manahan. Sebanyak 50 kapal menjadi stand by force dan selebihnya masuk proses pemeliharaan. Selain kapal-kapal itu, TNI masih memiliki kapal lain di Pangkalan Angkatan Laut (Lanal). Namun kapal yang tersedia di lanal hanya bisa beroperasi dalam jarak pendek, yaitu di wilayah laut yang aman dari ombak. ( Lagi, Menteri Susi Bidik 13 Kapal Asing Ilegal)
Padahal, wilayah perairan Indonesia sangat luas. Manahan menggambarkan luasnya wilayah Indonesia seperti Eropa atau sepanjang East Coasr hingga West Coast Amerika. Ada sejumlah konsep yang bisa digunakan untuk menentukan banyaknya kapal yang dibutuhkan."Apakah dengan membandingkan luas wilayah, atau ancaman yang ada," kata Manahan.
Tidak mudah bagi TNI AL menjaga wilayah perairan Indonesia. Sampai saat ini koordinasi dilakukan TNI AL dengan pemerintah termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, kepolisian, Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta masyarakat. Meski demikian, koordinasi ini dalam praktiknya bukanlah hal sederhana. Manahan menuturkan, daya deteksi, kemampuan teknologi informasi serta informasi intelijen harus ditingkatkan.
MARIA YUNIAR
Baca berita lainnya:
Dihujat FPI Soal Natal, Jokowi Dibela Ketua NU
Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad
Pilot Dimaki Dhani, Garuda: Baru Pertama Terjadi
Ketua PBNU: Ucapan 'Selamat Natal' Tak Haram