TEMPO.CO, Yogyakarta - Aula menyerupai pergelaran Keraton Yogyakarta berdiri di tengah perkampungan Dipowinatan, Yogyakarta. Pendopo ini menjadi bangunan utama di kompleks Ndalem Joyodipuran, tak jauh dari Keraton Kasultanan Yogyakarta. Gedung yang berada di kawasan seluas 6.500 meter persegi ini terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso Nomor 23, Yogyakarta. (Baca: Jokowi Minta Peringatan Hari Ibu Tidak di Istana)
Pohon sawo mengelilingi gedung yang kini digunakan untuk kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Bangunan ini menjadi saksi sejarah berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia pertama tanggal 22-25 Desember 1928. Ini merupakan gerakan nasional kebangkitan perempuan untuk melawan penindasan akibat perbedaan jenis kelamin. Mereka berkumpul, menyatakan pikirannya, dan menyebarkan gagasannya ihwal berbagai persoalan yang dihadapi perempuan. (Baca: Menteri Yohana Petakan Masalah Perempuan dan Anak)
Setiap tanggal 22 Desember, sejumlah organisasi perempuan memperingati Kongres Perempuan Indonesia. Semasa Presiden Soekarno menjabat, tanggal 22 Desember juga ditetapkan sebagai Hari Ibu. “Kami bikin acara bertema peran perempuan di wilayah domestik dan publik,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Christriyati Ariani, Ahad, 21 Desember 2014.
Menurut dia, kegiatan yang berlangsung di pendopo itu di antaranya diskusi tentang kesehatan reproduksi perempuan dan membahas kepemimpinan perempuan di masa sekarang. Acara itu digelar pada Jumat, 19 Desember 2014. Panitia memajukan jadwal karena sejumlah pegawai mengambil libur cuti. (Baca: Bogor Tolak Pangkas Jam Kerja Perempuan)
Christriyati menyatakan kantor ini sekarang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum tahun 1981, bangunan ini berada di bawah Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Di depan gedung ini ada patung Dr R Kodijat, yang berjasa memberantas penyakit frambusia atau patek.
Ndalem Joyodipuran berdiri sejak 1867. Bangunan rumah Jawa klasik berbentuk limasan ini pada mulanya bernama Dalem Dipowimolo. Nama ini sesuai dengan pemiliknya, K.R.T. Dipowimolo. Setelah K.R.T. Dipowimolo meninggal bangunan rumah ini oleh Sri Sultan H.B. VII, kemudian dihadiahkan kepada menantunya yang bernama K.R.T. Jayadipura yang dikenal sebagai seniman musik, tari, dan arsitektur. Dipowinatan kini menjadi kampung wisata.
SHINTA MAHARANI
Baca berita lainnya:
Ical, Lumpur Lapindo, dan Pemberi Harapan Palsu
Ahok Mencak-mencak di Balai Kota, Apa Sebabnya?
3 Dalih Pemerintah Jokowi Talangi Utang Lapindo
Alasan TNI AL Tak Penuhi Permintaan Menteri Susi
Ahmad Dhani Kembali Omeli Garuda