TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan akan mempelajari rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Tim Reformasi merekomendasikan penghentian impor Ron 88 atau Premium."Kami akan mempelajari dan mencerna baik rekomendasi tersebut, sesudah itu saya perlu mendiskusikan dengan para pihak," kata Sudirman dalam pesan pendeknya kepada Tempo, Ahad, 21 Desember 2014. (Baca: Lima Bulan Lagi, Impor Premium Distop)
Menurut Sudirman, diskusi tersebut perlu dilakukan dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, PT Pertamina, serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. "Ini sifatnya masukan untuk perbaikan, jadi harus diterima dengan tangan terbuka. Tapi implementasinya harus mempertimbangkan situasi dan kondisi," ujarnya. (Baca: Tim Anti-Mafia Migas: Stop Impor Premium!)
Tim Reformasi Tata Kelola Minyak merekomendasikan penghentian impor Premium. Dia beralasan pengadaan bahan bakar minyak bersubsidi ini tak transparan, sehingga masyarakat tak bisa membandingkan harga BBM di dalam negeri dengan di pasar. "Rekomendasi sudah kami sampaikan ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada Jumat kemarin," kata Ketua Tim Reformasi Faisal Basri.
Menurut Faisal, rekomendasi ini perlu disampaikan karena kerap terjadi kontroversi di masyarakat, baik dari segi besaran subsidi maupun proses pengadaannya. Ia mengatakan setiap orang punya berbagai versi mengenai berapa sebenarnya harga BBM subsidi. "Barangkali kami bisa membuat formulasi subsidi BBM yang lebih transparan," ujarnya.
Faisal mengatakan selama ini untuk mendapatkan Premium, negara perlu mengeluarkan anggaran yang lebih besar. Sebab, produk tersebut sudah tak beredar lagi di pasaran. Alhasil, untuk memperoleh Premium diperlukan proses pencampuran (blending) Naptha dengan persentase tertentu dengan bensin yang kualitasnya lebih tinggi, misalnya Ron 92.
Penghentian impor Premium ini, menurut Faisal, menjadi solusi untuk mencegah munculnya potensi kartel. Selama ini Indonesia menjadi satu-satunya negara yang membeli Premium, sayangnya tak memiliki kuasa sedikit pun untuk proses pembentukan harga di pasar. "Otomatis potensil kartel berkurang kalau kita langsung membeli Ron 92 dengan harga yang standar di MOPS (Mid Oil Platts Singapore)," ujarnya.
AYU PRIMA SANDI
Berita Terpopuler
Kalau Lapindo Salah, Kamu Pikir Jokowi Mau'
Muhammadiyah Tak Haramkan Muslim Ucapkan Natal
10 Penemuan Ilmiah Paling Menghebohkan 2014
Faisal Basri: Premium Lebih Mahal dari Pertamax