TEMPO.CO, Jakarta - Tim Reformasi Tata Kelola Minyak merekomendasikan penghentian impor research octane number (RON) 88 atau yang lazim dikenal sebagai bensin Premium.
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak Faisal Basri mengatakan negara perlu mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk mendapatkan RON 88. Sebab, produk tersebut sudah tak beredar lagi di pasaran. (Baca: Politisi PAN Hitung Harga Premium Bisa Rp 6.500)
"Selama ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang membeli RON 88," kata Faisal di gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ahad, 21 Desember 2014. Sayangnya, sebagai konsumen tunggal, Indonesia tak punya kuasa sedikit pun untuk membentuk harga di pasar. Akibatnya, ujar Faisal, potensi kartel semakin menjadi. (Baca: Pertamax Bakal Disubsidi Rp 500 per Liter)
Sementara itu, tutur Faisal, dengan menghentikan impor RON 88 dan langsung membeli bensin berkualitas tinggi, seperti RON 92, dengan harga yang standar, potensi kartel berkurang. Dia mengatakan, selama ini, pengadaan bahan bakar minyak bersubsidi tak transparan, sehingga masyarakat tak bisa membandingkan harga BBM tertentu di dalam negeri dengan di pasar. (Baca juga: Faisal Basri: Premium Lebih Mahal dari Pertamax)
Selain menghilangkan kartel, ujar Faisal, penghentian impor RON 88 juga mendorong peningkatan kualitas kilang-kilang milik Pertamina. Selama ini, kilang yang bisa menghasilkan RON 92 hanya Kilang Balongan. Pertamina, menurut Faisal, siap melakukan pembaruan kilang untuk memproduksi RON 92. (Baca: Premium Distop, Menteri Energi Tanya Rini Soemarno)
AYU PRIMA SANDI
Topik terhangat:
KSAL Baru | Lumpur Lapindo | Perayaan Natal | Susi Pudjiastuti | Kasus Munir
Berita terpopuler lainnya:
'Kalau Lapindo Salah, Kamu Pikir Jokowi Mau'
Muhammadiyah Tak Haramkan Muslim Ucapkan Natal
10 Penemuan Ilmiah Paling Menghebohkan 2014
Faisal Basri: Premium Lebih Mahal dari Pertamax