TEMPO.CO, Jakarta - Prasasti Kongres Perempuan pertama 22 Desember 1928 menghias dinding pendopo Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Di sini, setidaknya seribu lebih perempuan berkumpul mengikuti peristiwa bersejarah yang menandai gerakan perempuan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia pertama kali digelar di kota yang waktu itu bernama Mataram. “Setiap tanggal 22 Desember, kami membuat peringatan acara sebagai refleksi peran perempuan,” kata Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Christriyati Ariani, Ahad, 21 Desember 2014. (Baca: Hari Ibu Jatuh 22 Desember Besok, Ini Muasalnya)
Ketika Kongres Perempuan pertama berlangsung, salah satu yang hadir adalah Raden Ayu Siti Sundari, 23 tahun. Saat itu Siti Sundari adalah seorang pengajar berparas ayu di Kweek School, sekolah guru di Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Dia tampil bersemangat lewat pidatonya berjudul Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia.
Di pendopo inilah, Sundari untuk pertama kali bicara pentingnya bahasa persatuan Indonesia. Dia yang biasa berbahasa Belanda dan Jawa krama inggil, memaksakan diri berbicara dalam bahasa Melayu meski terbata-bata. (Baca: Jokowi Minta Peringatan Hari Ibu Tidak di Istana)
Sundari adalah satu dari 15 pembicara pada kongres itu. Para pembicara datang dari beragam organisasi, seperti Wanita Oetomo, Aisjiah, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Sedjati, dan Wanita Taman Siswa. Pidato Sundari, yang mewakili Poetri Indonesia dari Bandung, menjadi penanda pentingnya komitmen bagi penggunaan bahasa Indonesia.
Sundari memulai pidato dengan elegan. “Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, patoetlah rasanja kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak.” (Baca: Menteri Yohana Petakan Masalah Perempuan dan Anak)
Sundari merupakan pendatang baru untuk urusan bahasa Indonesia. Dalam Kongres Pemuda II, Oktober 1928, di Kramat Raya, Jakarta, ia masih berbahasa Belanda. Ia tampil berbahasa Indonesia pada Kongres Perempuan di Ndalem Joyodipuran.
Pengajar Jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, dalam jurnal Asian Studies Review, September 2000, mengatakan Sundari dibantu seorang penerjemah untuk menyiapkan pidatonya. Dia kerap terbata-bata ketika mengucapkan kosakata bahasa Indonesia. “Usaha keras Sundari layak dipuji,” kata Foulcher, yang juga pengamat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). (Baca: Bogor Tolak Pangkas Jam Kerja Perempuan)
Menurut Foulcher dalam tulisannya, inilah simbol bangkitnya nasionalisme dan komitmen terhadap visi negara Indonesia mandiri yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda. “Hanya dalam jangka dua bulan, sebuah perubahan dahsyat terjadi, “ tulis Dr Keith Foulcher.
Sundari dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 25 Agustus 1905. Tak hanya melepaskan bahasa tanah kelahirannya, ia juga melepaskan bahasa intelektualnya, bahasa Belanda. Sundari merupakan istri pahlawan nasional Muhammad Yamin.
SHINTA MAHARANI
Baca berita lainnya:
Ical, Lumpur Lapindo, dan Pemberi Harapan Palsu
3 Dalih Pemerintah Jokowi Talangi Utang Lapindo
Alasan TNI AL Tak Penuhi Permintaan Menteri Susi
'Kalau Lapindo Salah, Kamu Pikir Jokowi Mau'
Ahmad Dhani Kembali Omeli Garuda