TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan delik hukum untuk menjerat orang Indonesia yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) lemah. Pernyataan ini disampaikan menyusul ditangkapnya enam orang yang diduga pengikut ISIS di Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu, 27 Desember 2014. (Baca: Enam Terduga ISIS Dijanjikan Gaji Rp 20 Juta)
Alasan pertama, kata Huda, mereka yang bergabung belum terbukti secara langsung melakukan tindakan bersama ISIS. "Banyak celah dalam pembuktian di pengadilan," kata Huda saat dihubungi pada Sabtu, 27 Desember 2014. Sebab yang mereka lakukan tidak bersinggungan langsung dengan kedaulatan Indonesia. Konsentrasi gerakan ISIS ada di daerah Timur Tengah. (Baca: Ini Alasan Enam Terduga ISIS Pakai Identitas Palsu)
Satu-satunya yang kuat menjerat mereka adalah bagaimana propaganda ISIS yang kemudian dihubungkan dengan pembantaian yang telah mereka lakukan. Toh, menurut Huda, gerakan ISIS berbeda dengan terorisme yang selama ini terjadi. (Baca: Tampung Enam Terduga ISIS, Pria Ini Ikut Ditangkap)
Mereka yang bergabung dengan ISIS kebanyakan termotivasi pada iming-iming khilafah islamiah. Tidak ada tokoh panutan seperti gerakan separatis Islam lain yang mengandalkan satu tokoh sentral. "Kebanyakan bergabung juga karena alasan utopis seperti negera Islam," katanya. (Baca: Enam Terduga ISIS Akan ke Suriah Lewat Doha, Qatar)
Huda mengatakan para simpatisan ISIS di Indonesia memandang gerakan ini berbeda dengan terorisme. Sebab, ISIS memiliki teritori wilayah, logistik, dan tata kelola negara. (Baca: Terduga ISIS Dibidik dengan Pidana Pemalsuan)
SYAILENDRA
Topik terhangat:
Banjir | Natal dan Tahun Baru | 10 Tahun Tsunami | ISIS | Susi Pudjiastuti
Berita terpopuler lainnya:
Jokowi: Minta Apa pun Saya Beri, Asal Swasembada
Reaksi Jokowi Soal Namanya yang Dicatut Gajah
Tanggul Lapindo Jebol, Ical Liburan ke Eropa