TEMPO.CO, Jakarta - Membaca buku elektronik (e-book) sebelum tidur ternyata dapat berakibat buruk terhadap kesehatan, tingkat kewaspadaan, dan ritme sirkadian irama tidur. Fakta ini berdasarkan studi dari para peneliti di Brigham and Women's Hospital (BWH) yang membandingkan efek biologis membaca e-book dan buku cetak.
"Ritme tidur terganggu karena gelombang cahaya pendek (cahaya biru) dari perangkat elektronik," kata Ane-Marie Chang, ahli neurosains di Sleep and Circadian Disorder Division BWH, seperti dikutip dari Sciencedaily, Senin, 29 Desember 2014. (Baca: Tutup Usia, Michael Hart Wariskan Target 1 Miliar E-book)
Chang mengatakan terjadi pengurangan sekresi melatonin saat seseorang membaca e-book sebelum tidur. Temuan ini diterbitkan dalam jurnal Proceeding National Academy of Sciences edisi 22 Desember 2014. Penelitian sebelumnya menunjukkan cahaya biru tersebut menekan melatonin pada tubuh yang menyebabkan tubuh selalu merasa kekurangan tidur.
Selama studi rawat inap selama dua minggu, 12 belas peserta eksperimen membaca e-book dari iPad empat jam sebelum tidur. Mereka melakukan hal tersebut selama lima malam berturut-turut. Begitu pun juga membaca dengan buku cetak. (Lihat: Pemberlajaran Interaktif Menggunakan Ipad di SD Jamestown)
Saat membaca e-book, para peneliti memindai rapid eyes movement peserta. Hasilnya, membaca dengan iPad mengurangi sekresi melatonin, sebuah hormon yang berperan mendorong kantuk. Selain itu, iPad juga menunda ritme sirkadian tidur.
"Karena itu, orang kurang mengantuk dan akan tetap terjadi selama beberapa waktu," ujar Chang. Tak hanya iPad, dia menambahkan, tapi juga laptop, ponsel, monitor LED, dan perangkat elektronik yang memancarkan cahaya.
Charles Czeisler, Kepala Divisi Sleep and Circadian Disorder BWH, mengatakan setidaknya penurunan kualitas tidur ini sudah terjadi setidaknya sejak 50 tahun lalu. "Khususnya anak-anak dan remaja," kata Czeisler.
Para peneliti menekankan betapa pentingnya temuan ini. Sebab, banyak studi terkait dengan hal ini. Di antaranya, risiko sekresi melatonin, peningkatan risiko kanker payudara dan prostat.
SCIENCEDAILY | AMRI MAHBUB
Berita Lainnya:
Bima Arya Segel Gereja, Ini Respons GKI Yasmin
Jokowi Talangi Utang Ical , 'Tak Semudah Sulap'
Ahok Dinilai Langgar Aturan Sendiri