TEMPO.CO, Jakarta - Angga Dwimas Sasongko tak menyangka obrolan sepanjang sepuluh hari berkeliling Ambon pada 2007 silam mengantarnya ke panggung terbaik perfilman Indonesia 2014. Film Cahaya dari Timur:Beta Maluku menjadi film terbaik pilihan Tempo. Film ini mengantarkannya menjadi Sutradara Terbaik Pilihan Tempo. Film ini pun menjadi yang terbaik di Festival Film Indonesia.
Saat itu Angga sedang membuat film dokumenter Garuda Muda. Dia ditemani tukang ojek bernama Sani Tawainella yang berbagi kisah hidupnya. Cerita nyata Sani lalu disampaikan ke Swastika Nohara dan M. Irfan Ramly yang menjadikannya naskah skenario film. Tak hanya menawarkan pola narasi perjuangan karakter from zero to hero di ranah olahraga sepakbola, sebagai sutradara, ia ingin mengirim pesan damai dari film Cahaya dari Timur. Ini yang paling penting dari tanah yang luluh lantak oleh konflik.
“Sebagai pembuat film, cerita hidup Sani adalah materi yang bagus. Bakal jadi sport drama yang keren banget,” ujar Angga, menceritakan kesannya saat mendengar cerita Sani pertama kali di kantor Visinema Picture, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin, 22 Desember 2014.
Tema persatuan, pluralisme, latar belakang konflik sosial, kerap diangkat. Namun sebagai sutradara, Angga tahu betul bagaimana mengeksekusi naskah. Dengan cara bertutur yang lancar, seperti diperlihatkan di Hari untuk Amanda, yang temanya lebih ringan, ia mampu berkisah dengan lancar dan tetap fokus pada karakter Sani. Sepak bola dan konflik bisa menjadi problem dan solusi yang berimpitan. Secara estetika dan visual, film ini kuat. Inilah alasan Tempo memilih Angga sebagai sutradara terbaik tahun ini.
Dari Sani, Angga belajar bahwa konflik tak harus digambarkan secara dramatis, penuh darah, penderitaan, luka, dan kematian. Inilah alasan mengapa pria kelahiran 11 Januari 1985 ini memfokuskan pada proses perdamaian dan menghadapi dendam yang tersisa di hati penduduk. Dia, yang sempat belajar ilmu politik di Universitas Indonesia ini, tak mau filmnya menguatkan stigma tentang masyarakat di kawasan Indonesia Timur yang kerap digambarkan terbelakang dan miskin. “Saya ingin masyarakat di Indonesia Timur yang menonton film ini punya kebanggaan bahwa mereka tak gampang menyerah,” ujarnya.
Angga membuat film pendek sejak di bangku sekolah menengah atas. Untuk film ini, dia menggandeng Irfan Ramly, blogger yang mengalami kerusuhan Ambon. Ipang--panggilan Irfan--diikutkan pula dalam lokakarya penulisan skenario dengan Salman Aristo.
Sebagai sutradara, ia mampu mengarahkan seluruh kru dan pemain. Dekat dengan obyek, riset, dan persiapan matang, dia menyelesaikan film ini dan mengantarnya menjadi yang terbaik.
DIAN YULIASTUTI | NUNUY N | MBM