TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga Captain Irianto, pilot AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Selatan, masih diselimuti duka. Namun hingga kini, Arya Galih Gegara, putra bungsu Irianto yang masih berusia 8 tahun belum menyadari nasib ayahnya.
Menurut adik Irianto, Budi Sutiono, Galih masih berpikir ayahnya masih hidup dan bekerja di tempat yang jauh. Bocah ini tak tahu bahwa pesawat yang diterbangkan ayahnya terkena musibah. (Baca: 3 Jasad Korban Air Asia Bergandengan Tangan)
"Saya bilang kalau ayahnya tidak akan pulang karena ada pekerjaan lain. Dia pikir ayahnya masih bekerja," kata Budi Sutiono seperti yang dikutip dari The Telegraph, Rabu, 31 Desember 2014. (Baca: Tiga Indikasi Air Asia QZ8501 Tidak Meledak)
Galih, kata Budi, selalu bertanya kepada dirinya soal keberadaan sang ayah. Galih sering menangis karena rindu pada ayahnya yang pernah menjadi penerbang pesawat tempur F-5. "Pilot sering pergi jauh jadi dia paham saat saya ceritakan itu. Tetapi Galih terus bertanya dan menangis karena dia kangen ayahnya," kata Budi.
Captain Irianto menerbangkan pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura pada Ahad pagi, 28 Desember 2014. Irianto dikabarkan sempat meminta izin pada pengawas penerbangan agar diizinkan menaikkan pesawat ke ketinggian 38 ribu kaki untuk menghindari awan kumulonimbus yang berbahaya. Namun, pesawat itu kemudian hilang kontak saat berada di ketinggian 34 ribu di atas Perairan Tanjung Pandan, Bangka Belitung. Badan SAR Nasional menemukan puing dan korban pesawat di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
PUTRI ADITYOWATI
Berita Terpopuler
Sinyal Ponsel Penumpang Air Asia Jadi Petunjuk?
Ini Dia Harga Baru Premium dan Solar
Satu Pramugari Air Asia QZ8501 Ditemukan Pagi Ini