TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Perumus Sema Peninjauan Kembali, Suhadi, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi soal peninjauan kembali menjadi cacat karena landasan hukum yang digunakan hanya berdasarkan KUHAP. Sedangkan landasan hukum penerbitan surat edaran Mahkamah Agung (sema) ada dua perundang-undangan yang diacu.
Keduanya adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) dan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Pasal 66. Pasal-pasal di kedua undang-undang itu masih berkekuatan hukum tetap dan belum dibatalkan Mahkamah Konstitusi. (Baca: Kejagung : Eksekusi Terpidana Mati Ditunda)
Artinya, kata Suhadi, pasal di dua undang-undang itu bisa dijadikan sebagai acuan dari penerbitan sema dan mengembalikan batas permohonan peninjauan kembali yang hanya satu kali dan bukan berulang kali seperti putusan MK.
"Masing-masing pasal di dua undang-undang itu juga menyebutkan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan di atas peninjauan kembali. Jadi, ya, peninjauan kembali hanya satu kali," kata Suhadi. "Sema ini bisa menjadi acuan Kejaksaan Agung jika masih galau akibat adanya peninjauan kembali lebih dari satu kali itu." (Baca: Aturan Pembatasan Peninjauan Kembali Terbit 2015)
Sema ini diterbitkan oleh Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali beserta seluruh hakim kamar pidana pada tanggal 31 Desember 2014. Suhadi mengatakan sema ini merupakan instruksi terhadap seluruh pengadilan negeri dan tinggi untuk tidak menerima permohonan peninjauan kembali lebih dari satu kali kepada terpidana.
REZA ADITYA
Berita Terkait:
Identifikasi Korban Air Asia, 25 Dokter Siaga
Crisis Center Air Asia Pindah ke RS Bhayangkara
93 Keluarga Korban AirAsia Berikan Data ke Tim DVI
Jokowi Pimpin Rapat Kabinet Bahas Air Asia QZ8501
Presiden Iran Berduka atas Musibah Air Asia QZ8501