TEMPO.CO, Yogyakarta - Upah buruh pembuat bulu mata palsu yang biasa dipakai artis di bawah upah minimum provinsi (UMP). Dari satu pasang bulu mata itu, buruh mendapatkan Rp 500. Dalam sehari, mereka harus menyelesaikan 20 pasang bulu mata untuk jenis itu.
“Susah membuatnya, tapi harganya sangat murah,” ujar Khotimah, buruh plasma bulu mata palsu di Desa Pengadegan, Kecamatan Pengadegan, Purbalingga, Selasa, 6 Januari 2015. (Baca: Lima Kota dengan Upah Buruh Tertinggi)
Berbeda dengan bulu mata jenis lainnya, bulu mata Syahrini. Dalam satu ikat, terdapat tiga helai rambut yang diikat dalam satu ikatan. Berbeda dengan bulu mata lainnya yang hanya satu helai rambut dalam satu ikatan.
Artis Syahrini dikenal suka bersolek, antara lain gemar memakai bulu mata palsu. Nama bulu mata yang dipakai Syahrini "bulu mata antibadai", yang harganya cukup mahal. Seperti dikutip dari Bulumatasyahrini.com, bulu mata model Cenderawasih dijual Rp 65 ribu per pak, sudah termasuk lem dan pemasangannya.
Khotimah merupakan satu dari ribuan buruh plasma yang setiap hari harus menyelesaikan sebanyak 14 buah bulu mata. Dalam sehari, jika bisa mencapai target, ia akan dibayar Rp 13 ribu. Rinciannya, satu bulu mata dihargai Rp 500, uang hadir Rp 3.000, dan uang prestasi mencapai target Rp 3.000. “Kalau enggak mencapai target, ya, uang yang didapat sedikit. Rusak sedikit saja langsung dikembalikan tanpa dibayar,” kata Khotimah.
Sri Muniah, Ketua RT 06/RW 21 Desa Pengadegan, mengatakan dirinya telah berhenti menjadi buruh bulu mata karena matanya sudah tak kuat untuk bekerja. “Rata-rata buruh plasma pasti menderita sakit mata dan pusing-pusing,” katanya.
Selain menjadi buruh idep dan wig, hampir sebagian besar tetangganya juga bekerja di pabrik dengan skala besar. Tak hanya ibu rumah tangga yang memilih bekerja di pabrik, anak-anak lulusan SMP juga banyak yang memilih tak melanjutkan sekolah demi bekerja di pabrik bulu mata.
Menurut Sri, untuk mendaftar di pabrik, tak dibutuhkan KTP atau ijazah. Asal bisa ngidep, mereka akan diterima kerja. Bahkan beberapa di antaranya bisa bekerja sebelum ijazah SMP keluar.
Sakiyem, 20 tahun, memilih bekerja di pabrik dibandingkan harus melanjutkan sekolah. “Untuk membantu orang tua,” katanya.
ARIS ANDRIANTO
Berita Lain
Ulama Malaysia Haramkan Yoga dan Kopi Luwak
AS-Rusia Terancam Kembali ke Era Persaingan Nuklir
Wali Kota Prancis Tolak Pemakaman Bayi Gipsi