TEMPO.CO, Jakarta - Pelemahan mata uang euro ke level terendahnya dalam dua tahun memicu tekanan jual pada aset-aset berisiko.
Analis kuantitatif dari PT Bank Mandiri Tbk, Reny Eka Putri, mengatakan mata uang Eropa sudah ditransaksikan pada kisaran US$ 1,18 atau terdepresiasi lebih dari 20 persen dibanding posisi terkuatnya tahun lalu. "Melemahnya mata uang euro membuat investor global tidak bergairah untuk mengoleksi mata uang yang berisiko, termasuk rupiah."
Di transaksi pasar uang Rabu, 7 Januari 2014, rupiah melemah 88 poin (0,69 persen) ke level 12.735 per dolar AS. Rupiah mengikuti mata uang Asia lainnya yang masih tertekan oleh pelemahan euro, anjloknya harga minyak dunia, serta perlambatan ekonomi Eropa dan Cina.
Menurut Reny, euro melemah akibat tidak berhasilnya program pengetatan anggaran sebagai syarat bagi Yunani menerima dana talangan. Hal ini berdampak pada terancam keluarnya negara tersebut dari Zona Euro. Krisis Yunani bisa memicu ketidakstabilan keuangan di Eropa.
Situasi terkini di Yunani semakin menambah kepanikan pasar karena Uni Eropa sendiri masih mengalami kontraksi. Kebijakan bank sentral Eropa (ECB) mengucurkan stimulus moneter belum efektif meredam gejolak pasar. "Kebijakan stimulus justru menjadi pedang bermata ganda, karena di satu sisi menambah likuiditas tapi di sisi lain melemahkan nilai tukar," ujar Reny.
Dari dalam negeri, kepercayaan pasar terhadap rupiah mulai merosot seiring data-data ekonomi awal bulan yang jauh dari harapan. Membengkaknya defisit perdagangan bulan November dan tingginya inflasi mendorong investor membeli dolar ketimbang rupiah.
M. AZHAR
Baca juga:
Fariz RM Ditemui Istri di Ruang Tahanan
Eks Pejabat BIN Jadi Presdir Freeport Indonesia
Jurnalis AS Menolak Ungkap Nama Sumbernya di CIA
Penjualan Jeep Pecahkan Rekor