TEMPO.CO, Jakarta - Upaya merehabilitasi pecandu narkoba bukan perkara mudah. Contohnya seperti yang dialami Klinik Permata, klinik kesehatan yang didirikan Badan Narkotika Nasional tepat di Kompleks Permata--dulu disebut Kampung Ambon--di Jakarta Barat. Berbagai tantangan dihadapi klinik itu dalam melakukan proses rehabilitasi pecandu narkotik.
Herdiansyah, dokter klinik rehabilitasi tersebut, menuturkan warga sempat menaruh prasangka negatif kala klinik itu didirikan pada 2013. "Klinik dikira sebagai mata-mata, intel, cepu untuk mendapatkan identitas pecandu dan menangkap mereka," kata Herdiansyah, Rabu, 14 Januari 2015. (Baca:BNN: Kampung Ambon Sudah Bebas Narkoba.)
Berbekal pelayanan kesehatan umum, petugas klinik menjangkau para pecandu secara perlahan. Warga, kata Herdiansyah, melihat-lihat situasi dengan mencoba mengakses layanan kesehatan umum dulu. Di sini kesempatan melakukan rehabilitasi terbuka, namun Herdiansyah tak langsung mengajak pecandu direhabilitasi. "Jadi waktu datang periksa tidak langsung berbicara soal narkoba, tapi lebih fokus ke keluhan sakitnya saat itu," katanya.
Ketika warga merasa nyaman datang ke klinik dan berinteraksi dengan dokter, barulah mereka diberi pertanyaan ringan, seperti apakah sudah pernah minum obat di luar kepentingan medis. "Ketika menjawab 'iya' dan hasil urine positif, warga akan diarahkan untuk menjalani tahap rehabilitasi, dari detoksifikasi sampai konseling," kata dia. Kehati-hatian dan kejelian menjadi syarat mutlak pada masa itu untuk mengajak seseorang menjalani rehabilitasi. (Baca: Diusulkan, Pecandu Narkoba Ditanggung BPJS.)
Pada 2013, Kampung Ambon belum bersih sepenuhnya dari narkoba. Bukan hal aneh jika klien yang mengakses layanan rehabilitasi kembali ketagihan narkoba karena menghadapi godaan yang menggiurkan. "Tantangan dari lingkungan sangat berat karena di luar sana mereka berinteraksi dengan lingkungan pengguna," kata Herdiansyah.
Tantangan juga acap datang dari keluarga dan pekerjaan. Ketika klien menghadapi masalah ekonomi dan perlakuan yang keliru dari keluarga, ada kemungkinan klien tak meneruskan rehabilitasi. "Klien akan menghadapi dilema yang besar, terlebih jika ia kembali ke lingkungan pergaulan yang salah," kata dia.
Pecandu yang menggunakan heroin atau putauw memiliki tantangan tersendiri karena sangat sulit melepaskan diri dari barang itu. Sebab, putauw dianggap memiliki sensasi kenikmatan tertinggi. "Seribu kali lebih nikmat dari orgasme," kata Herdiansyah menirukan keterangan kliennya.
Sementara itu, bagi pengguna stimulan, ada bahaya lain yang mengintai dari hubungan seksual. "Ketika seseorang berhenti memakai stimulan, efek lainnya adalah libido yang jadi tinggi," ujar Herdiansyah. Menurut dia, hal ini mesti diwaspadai sebab menjadi pintu masuk penularan berbagai macam infeksi atau penyakit menular seksual. (Baca: Pecandu Narkoba Kena HIV/Aids Capai 4 Juta.)
Apabila mantan pecandu sudah pulih, tantangan lainnya berupa stigma dari masyarakat. "Contohnya saja, untuk mendapatkan surat keterangan sehat, kalau tahu dari Kompleks Permata, kemungkinan besar ditolak. Padahal surat itu syarat untuk mencari pekerjaan," kata Herdiansyah.
Ia berharap stigma terhadap Kompleks Permata perlahan terkikis agar mantan pecandu memiliki kesempatan kedua untuk hidup lebih baik dan program rehabilitasi berjalan tuntas.
DINI PRAMITA
Berita Lainnya:
Kasus Budi Gunawan: 3 Indikasi Jokowi Kurang Tegas
Obat Pikun Ini Ada di Dapur Anda
Gara-gara Jenderal Berduit, 2 Kali KPK Digeruduk Polisi
Samsung Luncurkan Ponsel Tizen Pertama di India