TEMPO.CO, Semarang - Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah Ahmad Rafiq mengatakan penerapan hukuman mati bagi pelaku kejahatan dalam ajaran Islam masih kontroversial. “Dalam agama Islam hukuman mati memang ada, disebut hukuman qisos. Ancaman hukuman mati adalah untuk pelaku pembunuhan,” kata Ahmad Rafiq kepada Tempo di Semarang, Senin, 19 Januari 2015.
Meski ada hukuman mati dalam Islam, kata Ahmad, pelaksanaannya tak bisa semena-mena. Ada prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengeksekusi mati seorang pelaku pembunuhan. Yakni secara hukum orang itu terbukti sebagai pelaku pembunuhan dan vonisnya berkekuatan hukum tetap serta tidak diragukan kebenarannya. (Baca juga: Jaksa Agung: Eksekusi Mati Tak Sesuai Rencana.)
Dalam Islam, kata Rafiq, hukuman mati bisa gugur jika ada maaf dari keluarga korban. Pemaafan itu harus bersifat makruf (demi kebaikan) yang biasanya berbentuk pemberian kompensasi kepada keluarga korban. “Semacam uang duka,” kata guru besar Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang tersebut. (Baca juga: Eksekusi Mati Rani, Kesaksian Ayah, dan Isi Wasiat.)
Pada Ahad dinihari lalu, pemerintah Indonesia mengeksekusi mati enam terpidana kasus narkoba. (Baca juga: Eksekusi Mati Rani, Jenazah Dikubur Dekat Ibunda.)
Marco Archer Cardoso (Brasil), Ang Kiem Soei alias Tommy Wijaya (Belanda), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (Cianjur, Jawa Barat), Namaona Denis (Malawi), dan Daniel Enemuo (Nigeria) dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah.
Satu lagi terpidana mati, Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah, sesuai dengan wilayah pengadilan negeri yang menjatuhi vonis hukuman mati.
Keputusan Presiden Joko Widodo ini menuai polemik. Para aktivis hak asasi manusia menolak hukuman mati dengan alasan praktek tersebut memberangus hak hidup seseorang.
ROFIUDDIN
Berita lain:
Tertimpa Pramugari, Perawat Tuntut Air Asia
PKS: Andai Budi Gunawan Ketua KPK, Jadi Tersangka
Drone, Seperti Burung Dara yang Bisa Kembali