TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo berdiri membelakangi tembok. Selembar kain membebat kedua bola matanya. Tubuhnya ceking, cokelat, tanpa pakaian.
Dua tangannya menyilang di atas udel. Dia mengenakan celana hitam. Tulisan frasa latin fiat justitia ruat caelum membentang di dadanya. Dalam bahasa Indonesia, frasa itu berbunyi: "keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh".
Lukisan berjudul Meskipun Langit Runtuh itu adalah karya seniman Fransiscus Sigit Santosa yang tampil dalam pameran seni rupa bertema "Realistic" di Tahunmas Artroom di Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 24 Januari-7 Februari 2015.
Ruang seni Tahunmas semula adalah gudang kerajinan milik pengusaha gerabah Kasongan, Timbul Raharjo. Sebelas perupa berbasis gaya realistik memamerkan karya mereka.(Baca: Pak Raden Jual Lukisan Ke Jokowi, Tapi Ketemu Ahok)
Selain Fransiscus Sigit, mereka yang berpameran di antaranya Ahmad Sobirin, Deddy Paw, Pupuk Daru Purnomo, C. Roadyn, dan Bodas Ludira Yudha. Karya Fransiscus Sigit menyuarakan kritik atas kondisi masyarakat yang masih jauh dari keadilan.
Dalam konteks saat ini, karya ini bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap Jokowi yang menutup mata atau tidak ingin tahu persoalan bangsa. Satu di antaranya adalah korupsi yang membelit penegak hukum. "Karya ini menggambarkan harapan akan keadilan," kata Fransiscus Sigit, Ahad, 25 Januari 2015.
Mata yang ditutup kain dalam lukisan itu, kata Fransiscus, lekat dengan simbol mitologi Yunani, Themis, atau dewi keadilan dan hukum. Karya berukuran 145 X 115 sentimeter berbahan cat minyak di atas kanvas ini diciptakan pada pertengahan 2014.
Lukisan alumnus jurusan seni murni dengan minat utama seni lukis dari Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia ini pernah dipamerkan di Jakarta.(Baca: Sejarawan: Jokowi Juga Harus Peduli Museum)
Karya bergaya realistik juga muncul pada patung garapan seniman Deddy Paw berjudul Everything Starts from Within Oneself. Deddy menyajikan patung berbentuk buah apel raksasa. Gambar buah apel bergelantungan dengan daun menghias tubuh patung apel bagian atas.
Deddy melubangi tubuh patung apel berwarna dominan biru itu hingga terbentuk delapan rongga. Setiap rongga diisi dengan patung Buddha berwarna perak yang sedang duduk bersila. Ada pula patung apel. Patung berukuran 100 x 100 x 90 sentimeter itu menggunakan bahan aluminium, stainless steel, kuningan, dan cat minyak di atas fiberglass.
Deddy Paw mengatakan buah apel dalam karya itu menyimbolkan cinta, kasih sayang, atau hal baik yang harus dipikirkan dalam kehidupan. Sedangkan patung Buddha yang sedang duduk bersemedi menggambarkan contoh keteladanan di dunia.
Buddha mengajarkan kasih sayang, kejujuran, kearifan, dan perbuatan baik lain semasa hidupnya. "Delapan rongga tempat apel perak dan Buddha adalah simbol delapan penjuru mata angin," kata dia.
Kurator pameran, Mikke Susanto, mengatakan salah satu teknik dalam berkarya di seni rupa adalah melukis atau mematung secara realistik. Seni rupa bergaya realistik sangat penting karena mengandung rujukan estetik yang sangat jelas. "Kadar estetiknya lebih mudah diukur," kata Mikke.
Selain itu, seni rupa realistik penting karena menggambarkan apa yang tampak dan disepakati masyarakat. Gaya realistik menjadi dasar bagi setiap orang yang ingin menyatakan berbagai hal.
Seni rupa realistik kini terus berkembang menjadi lebih kritis, politis, parodikal, dan mungkin juga lebih dangkal. Seni ini bukan sekadar menampilkan gambar keindahan, namun juga gambar atas nama kejelekan, kengerian, sindiran, atau parodi dari perupa.
SHINTA MAHARANI
Berita Terpopuler
Masked Monkey, Film Indie yang Laku di Luar Negeri
Kemenpar dan PPFI Soal Eksistensi Film Nasional
Andre Hehanusa Kangen Musik Era 1980-an
Battle of Surabaya, Animasi Produksi Anak Negeri