TEMPO.CO, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat meminta indikator kemiskinan yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) diubah. Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR Jon Erizal mengatakan perubahan indikator itu sangat dibutuhkan agar penghitungan angka kemiskinan yang dilakukan lembaga statistik lebih terukur.
"Misal Bank Dunia, di sana jelas berapa pendapatan orang yang disebut miskin dan tidak miskin. Ini harus menjadi pertimbangan agar indikator yang digunakan jelas," kata Jon dalam rapat dengan BPS di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 26 Januari 2015.
Selain itu, Dewan juga meminta agar BPS tidak lagi menggunakan istilah miskin, hampir miskin, dan tidak miskin dalam hasil surveinya. "Harus tegas, kalau miskin bilang saja miskin. Tidak perlu ada istilah hampir miskin atau rentan miskin. Padahal substansinya tetap saja miskin," kata Jon Erizal. Dia mengatakan ketegasan tersebut diperlukan agar jumlah warga miskin di Indonesia jelas.
Kepala BPS Suryamin mengaku tidak masalah jika indikator tersebut diubah. Menurut dia, selama ini lembaganya menggunakan indikator untuk memotret warga miskin di Indonesia berdasarkan sistem yang sudah dilakukan sejak tahun 1990-an yaitu dengan menggunakan indikator makanan berupa kecukupan gizi harus memenuhi 2.100 kilokalori per hari.
"Selain itu juga garis kemiskinan dihitung dari nonmakanan seperti sandang dan papan. Kami bisa elaborasi lagi indikator tersebut," katanya. Suryamin mengatakan akan mengundang akademikus dan ahli untuk merumuskan indikator-indikator baru yang bisa digunakan dengan kondisi saat ini.
Data BPS menyebutkan total penduduk miskin pada September 2014 mencapai 27,73 juta atau 10,96 persen dari total penduduk. Angka ini berkurang 0,55 juta dibanding Maret 2014 sebesar 28,28 juta atau 11,25 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan September 2013, terjadi penurunan 0,87 juta orang. Sebanyak 17,37 juta berada di desa dan 10,36 juta di kota.
Dilihat dari konteks geografis, Maluku dan Papua menduduki posisi pertama sebagai domisili penduduk miskin Indonesia yakni 21,86 persen. Disusul Bali dan Nusa Tenggara 14,35 persen, Sulawesi 11,07 persen, Sumatera 11,11 persen, Jawa sebesar 10,5 persen, dan Kalimantan 6,43 persen.
ANGGA SUKMAWIJAYA
Baca juga:
Gagal Merampok, Stres, Pelaku Merusak Dua ATM
Jiwasraya Targetkan Premi Rp 10 Triliun Tahun Ini
Sulsel Cegah 19 Pengemplang Pajak
Film King Suleiman Tayang Lagi Jadi Abad Kejayaan