TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat meminta rancangan kode etik DPR diperbaiki. Soalnya, di dalam rancangan yang dipaparkan Mahkamah Kehormatan DPR itu, beberapa pasal dianggap rancu dan perlu direvisi.
Anggota Fraksi Golkar, Popong Otje Djunjunan, misalnya, mengoreksi kesalahan bahasa dalam rancangan kode etik. Ia mencontohkan Pasal 8 ayat 7 dalam kode etik itu soal kepemilikan senjata api oleh anggota DPR. Disebutkan, ”Anggota dilarang bawa senjata api dan barang berbahaya lainnya di lingkungan DPR”. Menurut Otje Djunjunan, pasal tersebut menimbulkan penafsiran yang ambigu. ”Jadi hanya di DPR? Kalau anggota DPR membawanya di mal bagaimana?” ujar politikus yang akrab disapa Ceu Popong itu dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 27 Januari 2015.
Ia juga mengkritik profesi lain anggota Dewan terutama keartisan. Dalam kode etik disebutkan, ”Anggota dilarang terlibat dalam film, sinetron, dan kegiatan seni yang bersifat komersial khususnya yang merendahkan anggota.” Ceu Popong mengusulkan frasa ”khususnya yang merendahkan anggota” dihapus. ”Jadi, seluruh anggota dilarang terlibat dalam sinetron, film, iklan,” kata dia. (Baca: Siaran Ashanty, Apa Bentuk Hukuman untuk Anang?)
Hari ini, DPR menggelar sidang paripurna membahas pengesahan rancangan kode etik. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Surahman Hidayat membacakan sejumlah amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD, yaitu soal kode etik DPR dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan. ”MKD berkoordinasi dengan badan legislasi dan ahli bahasa untuk memberikan masukan. Selain itu kami minta masukan para pemimpin fraksi,” kata Surahman.
Rancangan kode etik DPR terdiri dari tujuh bab dan 25 pasal. Kode etik mengatur norma yang wajib dipatuhi anggota Dewan meliputi kepentingan umum (Bab II Pasal 2), integritas (Pasal 3), hubungan mitra kerja, akuntabilitas, konflik kepentingan, rahasia, kedisiplinan, dan hubungan konstituen. Selain itu diatur juga soal independensi, pekerjaan lain di luar tugas kedewanan, hubungan dengan wartawan, dengan staf, dan etika persidangan. Di dalam rancangan itu, Mahkamah Kehormatan merumuskan tiga jenis pelanggaran dalam kode etik Dewan, yakni pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Adapun sanksi juga dibagi menjadi tiga yaitu sanksi ringan, sedang, dan berat. (Baca: Lima Penyakit DPR yang Bikin Publik 'Ilfeel')
Risa Mariska, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, meminta para pimpinan DPR dan pemangku kebijakan bersikap konsisten dalam mengambil keputusan terhadap rancangan tersebut. Tujuannya, kata dia, menghindari persepsi bahwa DPR sebagai lembaga yang super power. ”Mohon konsistensinya untuk mengundang beberapa stake holder dalam pembahasan ini,” ujar dia
Rieke Diah Pitaloka, juga dari Fraksi PDI Perjuangan, menilai rancangan Kode Etik DPR perlu direvisi. ”Apa beda definisi kehadiran di Undang-Undang MD3 dengan kode etik? Ini perlu disinkronkan dengan peraturan lain,” kata dia.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan revisi diperlukan agar anggota tak salah persepi. ”Jangan sampai menjerat teman-teman Dewan,” kata dia.
Walhasil, rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Setya Novanto dan dihadiri 409 anggota Dewan sepakat membahas rincian rancangan tersebut di badan musyawarah. (Baca: BK Diminta Buka Absensi Sidik Jari Anggota DPR)
PUTRI ADITYOWATI
Terpopuler:
3 Aktor Kontroversial di Balik Kisruh KPK vs Polri
Diminta Jokowi Mundur, Budi Gunawan Menolak
Diminta Tegas Soal KPK, Jokowi Kutip Ronggowarsito
Menteri Tedjo: Tak Percaya Polisi? Bubarkan Saja