TEMPO.CO, Riyadh: Raja Abdullah, 90 tahun, yang meninggal pada Jumat pagi, 23 Januari 2015, dipuji sebagai seorang reformis. Namun Raja Arab Saudi ini mendapat kritik tentang pelanggaran hak asasi manusia dan lemahnya pelaksanaan demokrasi di negara yang kaya minyak itu.
Salah satu aspek yang paling dikritisi dari catatan pelanggaran HAM Arab Saudi adalah apa yang disebut "sistem pengawalan laki-laki," di mana perempuan tidak diizinkan untuk melakukan perjalanan, memiliki paspor, menikah, atau melanjutkan pendidikan tanpa persetujuan dari saudara laki-laki. (Baca: Raja Abdullah, Tokoh Reformis Arab Saudi)
Peraturan itu juga diterapkan bagi empat putrinya. Mereka mengaku secara paksa dikurung di rumah kumuh dengan sedikit makanan dan air. "Ayah kami mengatakan bahwa kami tidak punya jalan keluar," Sahar al-Saud, 42 tahun, menulis dalam sebuah e-mail ke jaringan siaran Inggris Channel 4. "Dan setelah kematiannya saudara-saudara kami akan terus mengurung kami. "Kami hanya sebuah contoh kecil yang dialami banyak keluarga dan wanita," kata putri yang pernah menikmati perjalanan ski dan berbelanja di luar negeri itu.
Adam Coogle, seorang peneliti Arab Saudi untuk Human Rights Watch mengatakan kepada Think Progress melalui e-mail, "Tampak jelas bahwa kebebasan para putri itu telah dibatasi, tetapi kami tidak memiliki rincian lebih dari itu."
Adapun Sahar dan adik-adiknya mengaku mereka ditahan karena kemandirian mereka dan pandangan kritis terhadap beberapa kebijakan sosial ayah mereka. Sahar dan adik-adiknya ditahan diduga berkaitan dengan dukungan mereka terhadap Sheikh Nimr al-Nimr, ulama Syiah yang dipenjarakan di pusat agama Islam Sunni itu. Dalam sebuah video pada bulan April lalu, Sahar pernah menyatakan dukungannya terhadap Nimr al-Nimr. (Baca: Raja Arab Abdullah Wafat, Ini Profil Penggantinya)
Raja Abdullah memang telah mengizinkan wanita bekerja sebagai kasir, namun tidak pernah mengatakan secara langsung mengenai apakah wanita akan diperbolehkan menyetir. Dilansir ABC News, ia hanya mengatakan, "Saya percaya itu pasti terjadi."
Meskipun Raja Abdullah membatalkan hukuman seorang wanita yang akan dicambuk karena mengemudi pada tahun 2011, perempuan terus menghadapi penangkapan akibat mengemudi. Bulan lalu, dua wanita Arab Saudi ditangkap dan dipenjara karena mengemudi, salah satunya mendapatkan perhatian internasional karena meng-tweet usahanya untuk menyeberangi perbatasan dari Uni Emirat Arab.
Pada tahun 2011, di tengah tekanan dari gelombang revolusi yang melanda negara-negara Timur Tengah, Raja Abdullah mengumumkan bahwa perempuan akan diizinkan untuk memilih dalam pemilu di masa mendatang. Langkah ini diblokir "karena budaya sosial kerajaan."
Kasus yang juga membuat Raja Abdullah dikecam adalah penghukuman mati terhadap ribuan tahanan. Menurut sebuah laporan oleh organisasi hak asasi manusia Amnesty International, lebih dari 2.000 orang dihukum mati di Arab Saudi antara tahun 1985 dan 2013. Organisasi ini menyatakan bahwa banyak dari mereka yang telah disiksa atau dibunuh adalah pendukung reformasi sosial dan politik dalam negeri. Mereka didakwa "tidak mematuhi penguasa."
Pada hari Jumat lalu, pemerintah Saudi kembali menunda hukuman cambuk untuk blogger progresif Raif Badawi. Kendati Menteri Luar Negeri Inggris menyuarakan keprihatinannya atas hukuman ini, ia tetap memuji komitmen Raja Abdullah kepada rakyatnya. Pujian juga datang dari Perdana Menteri Inggris David Cameron.
"Dia akan diingat atas pengabdiannya kepada Kerajaan (Arab Saudi), atas komitmennya terhadap perdamaian dan untuk memperkuat pemahaman antaragama. Saya mendoakan keluarga Kerajaan Saudi dan rakyatnya pada waktu yang menyedihkan ini," kata David Cameron.
THINK PROGRESS | WINONA AMANDA
Baca juga:
Mudah Disetir, Jokowi Itu Presiden RI atau PDIP?
Ternyata Sistem Kemudi Air Asia QZ8501 Pernah Rusak
EKSKLUSIF: Samad KPK-Tedjo Gesekan di Istana Bogor
Jokowi Kirim Komandan Paspampres Jemput Samad KPK