TEMPO.CO , Tegal: Greenpeace Indonesia menyarankan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti segera berdialog dengan nelayan untuk mencari solusi ihwal alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.
“Belum adanya alternatif alat tangkap lain dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 itu menjadi catatan kami,” kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah Nasution, pada Kamis, 29 Januari 2015. (Baca juga: Menteri Susi Diprotes Wali Kota Tegal)
Peraturan yang melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) itu memicu reaksi keras dari nelayan di berbagai daerah. Pada Rabu lalu, ribuan nelayan di Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Batang, berunjuk rasa menolak peraturan tersebut. (Baca: Lobster Ditolak, Nelayan Protes Menteri Susi)
Sebagian nelayan di tiga daerah itu menggantungkan hidup pada alat tangkap cantrang dogol yang termasuk satu dari enam jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Nelayan menuntut pemerintah mencabut peraturan itu atau memberikan bantuan alat tangkap alternatif lain yang tidak dilarang. (Baca: Lima Hari, Menteri Susi Tangkap 14 Kapal Ikan)
Arif mengatakan, alat tangkap ikan pukat dilarang karena merusak ekosistem terumbu karang di perairan beradius 4-12 mil dari pantai. Rapatnya mata jaring pukat juga menangkap seluruh jenis ikan, termasuk ikan-ikan kecil yang bukan target nelayan. (Baca: Buat Aturan Baru, Menteri Susi Didemo 10 Kelompok)
Selain pukat tarik dan hela, Arif berujar, seluruh alat tangkap ikan yang menggunakan jaring sebenarnya juga bersifat destruktif. “Purse seine (pukat cincin) itu juga tidak ramah lingkungan, tapi belum dilarang. Mungkin sekarang sedang dikaji Kementerian Kelautan dan Perikanan,” ujarnya.
Mencegah kerusakan ekosistem laut akibat aktivitas penangkapan ikan, Greenpeace Indonesia menawarkan sejumlah solusi untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pertama, membuat standar ukuran mata jaring nelayan. Kedua, menggandeng pemerintah daerah untuk mengatur batas operasi kapal tergantung dari jenis alat tangkap ikannya.
“Pemerintah juga musti memberi kompensasi kepada nelayan yang tidak bisa melaut karena alat tangkap ikannya dilarang,” kata Arif.
Dia juga mendesak pemerintah segera merealisasikan janji Presiden Joko Widodo mendirikan Bank Nelayan yang mudah diakses nelayan kecil untuk usaha budidaya ikan dan lain-lain.
Menurut Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT), Eko Susanto, mayoritas nelayan di Tegal menggunakan cantrang dogol karena biaya pembuatannya lebih murah. “Cantrang itu lebih murah, Rp 20 juta sudah dapat. Kalau purse seine itu satu unit mencapai Rp 500 juta,” kata Eko.
Jika seluruh kapal nelayan beralih menggunakan purse seine karena tidak dilarang, Eko berujar, akan terjadi persaingan ketat di laut. Dampaknya, harga ikan bisa anjlok akibat semua kapal mendaratkan jenis ikan yang sama. “Kalau peraturan yang melarang cantrang dogol tidak segera dicabut, kami siap menggelar aksi yang lebih besar di Jakarta,” kata Eko.
DINDA LEO LISTY
Berita lain:
Terdampar di Chechnya, Wanita Ini Ditolak Jadi WNI
Terkuak, Siapa yang Menerbangkan Air Asia Maut
Gaya Komunikasi Jokowi Bikin Bingung