TEMPO.CO, Yogyakarta - Kelompok yang menamakan dirinya Masyarakat Seni dan Budaya Yogyakarta menolak draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY yang tengah disusun Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penolakan itu disampaikan lewat surat kepada Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X yang juga diterima Tempo lewat surat elektronik Sabtu 31 Januari 2015.
“Draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY tersebut mempunyai masalah yang sangat mendasar pada aspek prosedur penyusunan dan substansi yang dikandungnya,” ujar juru bicara kelompok ini Agung Kurniawan.
Menurut Agung, pada aspek prosedur, penyusunan draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY itu dilakukan secara terburu-buru dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan kebudayaan di DIY. Pada aspek substansi, draft itu tidak mencerminkan kenyataan kebudayaan yang pernah dan tengah terjadi di DIY. “Draft itu punya cara pandang yang keliru terhadap kebudayaan,” katanya.
Menurut Agung, kelompok ini mengusulkan pembuatan Cetak Biru itu dilakukan secara terbuka dan melibatkan para pemangku kepentingan kebudayaan di DIY. “Seluruh proses pembuatan kebijakan dan pembangunan infrastruktur kebudayaan di DIY harus dilakukan secara transparan, melibatkan stakeholder dan publik, serta dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Agung yang juga dikenal sebagai perupa ini.
Sebelumnya pada 15 Januari 2015 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (PKKH UGM) diselenggarakan pertemuan dan diskusi mengenai draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY itu. Acara ini dihadiri oleh pemangku kepentingan kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kritik pedas muncul dari Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Faruk HT. Dia menilai isi cetak biru, yang akan berlaku pada 2015-2025, tersebut disusun dengan dasar-dasar teori kebudayaan yang lemah. Menurut Faruk, isinya mengasumsikan konstruksi kebudayaan di DIY homogen dan statis. "Teorinya ketinggalan zaman, asumsi-asumsinya lemah karena tidak berdasar riset terbaru," ujar Faruk saat itu.
Apalagi, katanya, proses penyusunannya tidak menjaring banyak pendapat dari praktisi dan ahli yang memahami dinamika kebudayaan di DIY. "Dicari tahu dulu, isi kepala orang Jogja sekarang itu nilai-nilai seperti memayu hayuning bawana atau justru yang lain," kata Faruk.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono membantah anggapan bahwa penyusunan draft itu tidak partisipatif, tertutup dan mendadak. "Kami terbuka," kata dia.
RAIHUL FADJRI