TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sebulan berlalu sejak kecelakaan AirAsia QZ8501 di Selat Karimata. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis laporan pendahuluan kecelakaan pesawat yang mengangkut 162 penumpang dan awak itu.
"Kami kirim preliminary report ke negara-negara yang bersangkutan. Tanggal 28 (Januari) sudah dikirim," kata Ketua KNKT Tatang Kurnaidi, Kamis, 29 Januari 2015. Dari temuan awal itu terungkap, antara lain, AirAsia QZ8501 menghadapi awan kumulonimbus dengan puncak mencapai 44 ribu kaki.
Temuan itu sesuai dengan analisis Profesor Edvin Aldrian dan rekannya yang dipublikasikan dalam situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) awal Januari lalu. Kepala Penelitian dan Pengembangan BMKG itu memaparkan, di lokasi pesawat AirAsia hilang kontak, muncul awan kumulonimbus yang besar. Awan yang mengandung butiran es ini menggunung dari ketinggian 30-an ribu kaki hingga 48 ribu kaki (Baca: AirAsia QZ8501 Hadapi Gunung Butiran Es)
Dari data citra satelit diperkirakan suhu udara di puncak awan itu -80 sampai -85 derajat Celsius. “Ini berarti terdapat butir-butiran es di dalamnya,” tulis Edvin Adrian dalam paparan sepanjang 14 halaman itu. Ia juga mengambarkan ada beberapa puncak awan yang menghadang jalur AirAsia QZ8501 yang terbang dari Surabaya menuju Singapura itu. (Baca: Jika AirAsia QZ8501 Terobos Awan Kulumonimbus)
Pesawat AirAsia terbang pada ketinggian 32 ribu kaki dan sempat minta izin untuk naik ke 38 ribu kaki sebelum hilang kontak. Pesawat ini juga sempat beberapa kali bergeser ke kiri seperti terlihat pada radar. Menurut Edvin, perubahan itu mungkin karena menghadapi cuaca buruk tersebut.
Di luar soal awan, ada 17 poin dalam kecelakaan AirAsia QZ8501 yang disampaikan Ketua Tim Investigasi Mardjono Siswosuwarno di kantor KNKT.
1. Pesawat dalam kondisi layak terbang dan dioperasikan dalam batas-batas berat dan keseimbangan.
2. Semua awak pesawat punya lisensi yang masih berlaku dan punya medical sertificate yang masih berlaku.
3. Second in command/kopilot-lah yang menerbangkan pesawat itu. Sedangkan kapten pilot sebagai pilot monitoring.
4. Pesawat tersebut menjelajah di ketinggian 32 ribu kaki. Pada pukul 23.11 GMT (06.11 WIB), terjadi kontak awal dengan ATC Jakarta. Pilot menginformasikan bahwa pesawat itu sedang berbelok ke kiri dari jalur M-635.
5. Terdeteksi radar Jakarta saat belok pukul 23.12 GMT (06.12 WIB), pilot minta kemungkinan flight level lebih tinggi ke 38 ribu kaki.
6. ATC Jakarta katakan standby. Tunggu dulu.
7. Pukul 23.16 GMT (06.16 WIB), ATC mengizinkan naik ke 34 ribu kaki.
8. Pada saat kejadian, tersedia informasi satelit cuaca yang menunjukkan ada formasi awan kumulonimbus (Cb) dengan puncak awan mencapai 44 ribu kaki.
9. Posisi terakhir pesawat ditunjukkan layar ATC Jakarta ada pada koordinat LS 03.34'48" BT 109. 41'50,47". Ketinggian pada 24 ribu kaki. Posisi telah bergeser belok kiri.
10. 30 Desember, Basarnas menemukan jasad dan beberapa bagian pesawat yang terapung.
11. Tanggal 9 Januari, bagian cukup besar, yakni ekor, ditemukan.
12. 12 Januari, flight data recorder (FDR) atau bagian black box ditemukan. FDR tersebut dibawa ke Jakarta dan esok harinya sudah berhasil diunduh merekam 1.200 parameter dan 147 jam rekaman suara.
13. 13 Januari, cockpit voice recorder (CVR) ditemukan koordinat LS: 03.37'18,1" BT: 109.04. 42" 42,2". CVR ini merekam dua jam terakhir penerbangan AirAsia. Kondisi rekaman bagus.
14. Recorder itu dibaca dan diunduh di lab milik KNKT. Tahap persiapan, pelaksanaan, hingga unduh dilakukan dalam kurun waktu sebelas jam.
15. Data CVR dan FDR menunjukkan, sebelum kejadian, pesawat tersebut menjelajah dengan stabil pada ketinggian 32 ribu kaki.
16. Data rekaman FDR dan CVR berakhir pada pukul 23.20 UTC (Universal Time Coordinate/Greenwich Mean Time 06.20 WIB)
17. Hingga tanggal 27 Januari, 70 jenazah ditemukan.
18. Evakuasi dan pencarian diteruskan dan akan di-update perihal data-data, serta akan dicantumkan dalam laporan akhir.
PINGIT ARIA | TIM TEMPO