TEMPO.CO, Yogyakarta - Sapuan kuas menuliskan aksara Jawa kuno, menyusun citraan banteng berkulit merah. Lukisan hewan bertanduk ini menghias kertas daluang. Banteng itu menyerudukkan tanduknya, menangkis cakaran dan gigitan macan berkulit hitam. Banteng terluka pada bagian leher. Tubuh macan berbalik dan mulutnya menganga. Taring macan nan tajam seperti hendak mencabik-cabik tubuh banteng.
Lukisan ini merupakan karya seniman Edi Dolan atau Edo berjudul Aja Wedi. Lukisan itu berkanvas pada lembaran kertas berbahan kulit pohon mulberry atau pohon daluang (deluang). Kertas daluang banyak digunakan pada naskah kuno nusantara. Lukisan berbahan akrilik itu adalah satu dari 25 karya yang tampil dalam pameran tunggal pelukis Edi Dolan berjudul Daluang Emas Kaligrafi Aksara-aksara Kuno di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Pameran berlangsung pada 27 Januari hingga 9 Februari 2015. (Baca:Metafora Kuasa Perupa Jerman Dipamerkan di Yogya)
Ada dua lukisan bertema banteng dan macan. Bedanya, pada lukisan lainnya adalah posisi banteng dan macan yang sedang beradu. Tubuh macan menindih punggung banteng. Macan mencakar kulit banteng secara buas. Sedangkan, banteng menundukkan kepalanya. “Karya ini menggambarkan hidup yang penuh pertarungan,” kata Edi.
Edi Dolan mempersilakan orang untuk menafsirkan karyanya sesuai dengan kondisi politik yang mendera Indonesia saat ini. Ada adu kekuatan, gontok-gontokan, saling menyerang untuk mempertahankan kekuasaan. Karya Edi Dolan dilengkapi dengan narasi berbahasa Jawa. Pada karya bertema banteng dan macan, Edi menulis: Aja wedi urip ning donya pancen angel. Mula kudu tansah setiti lan ati-ati. Dalam bahasa Indonesia berarti jangan takut, hidup di dunia memang sulit. Makanya harus cermat dan hati-hati. (Baca:Ada Nietzsche Terlelap di Kursi)
Karya Edi lainnya juga banyak menampilkan falsafah Jawa. Ia mengeksplorasi tokoh-tokoh wayang Jawa, di antaranya adalah Dewi Srikandi. Aja dumeh rumangsa melu handarbeni, wajib melu hanggondeli, mulat sarira hangrasa wani. Ini artinya jangan sok merasa ikut memiliki, wajib ikut membela dan berani mawas diri. Ada pula figur Semar yang berperut buncit dengan bokong besar dari susunan aksara Jawa.
Menurut Edi, pameran itu bertujuan untuk melestarikan budaya, yang memvisualkan figur wayang, kaligrafi, petuah-petuah dan rajah atau mantra dalam aneka aksara Jawa. Di antaranya aksara Sunda, Cirebon, Sansekerta, Arab, dan Batak Karo. Emas dalam pameran itu merupakan metafora mengenai penghargaan yang tinggi terhadap daluang. Emas memberi sentuhan kemuliaan dalam menghargai kerja seni yang mengandung rasa, kehalusan, dan ketelitian. “Saya memanfaatkan media daluang yang tumbuh di sekitar lingkungan saya hidup,” kata Edi. (Baca:Perupa F.X. Harsono Puasa Pameran pada 2015)
Edi Dolan merupakan seniman yang menghasilkan karya secara otodidak. Ia aktif di komunitas seni Gerbong Bandung sebagai perupa dan penulis puisi. Tahun 2013, Edi Dolan menggelar pameran tunggal dan workshop daluang di Yogyakarta. Dia juga kerap menggelar pameran bersama di sejumlah kota di Indonesia, di antaranya Salatiga dan Bandung.
A.Barata dari Tembi Rumah Budaya dalam katalog pameran menyatakan, Edi Dolan memunculkan kembali lokal jenius nusantara menggunakan media tulis dan lukis. Daluang, kaligrafi, rajah, mantra, dan figur wayang adalah perpaduan klasik. “Orang bisa menyerap makna karya Edi sebagai bagian dari falsafah hidup,” kata Barata.
SHINTA MAHARANI
Baca berita lainnya:
Ahok Digaet Mega, Giliran Jokowi Disokong Prabowo?
Dikecam Oegroseno, Kabareskrim: Sakitnya di Sini
Diserang sebagai Brutus Jokowi, Ini Kata Pratikno
Budi Waseso Jawab Tuduhan Kirim Telegram Mangkir