TEMPO.CO , Makassar:“Kadde’ na niak balianganna anjaya, naniak todong poteranganna tu matea, kusuro kio’ji anja beru ma’ labba.”—“(Seandainya akhirat bisa dibeli, dan orang mati bisa dikembalikan, akan kupanggil akhirat baru yang lebih luas)”, begitu petikan syair Bosi Timurung, yang dibacakan Arif Rahman, diiringi bunyi sengau kesok-kesok—alat musik gesek tradisional Sulawesi Selatan.
Bosi Timurung adalah puisi berbahasa Makassar yang secara harfiah berarti “hujan deras”. Bosi Timurung kerap dibawakan oleh orang Makassar saat ditinggal mati oleh orang terdekatnya. Menurut Arif, ini bentuk pengungkapan rindu dan duka mendalam kepada orang yang dikasihi. Biasanya, naskah Bosi Timurung tidak diiringi kesok-kesok, melainkan dibaca seperti melagukan ayat Al-Quran. “Tetapi kadang kala mereka bersenandung untuk melampiaskan rasa sedih.”
Sabtu malam lalu, 24 Januari 2015, Bosi Timurung diiringi kesok-kesok dalam acara Malam Sureq bertemakan “Ada yang Diam-diam Merindukanmu”, yang digelar di Kafe Baca Adhyaksa, Makassar. Ini pertama kali Arif tampil dan menghadiri Malam Puisi Makassar yang lebih dikenal dengan sebutan Malam Sureq itu.
Ada 30-an peserta yang menghadiri malam puisi bertajuk rindu tersebut. Acaranya terkesan lebih santai dari biasanya, selingan-selingan humor menjadi penghangat malam dingin itu. Tak hanya menghadirkan humor, puisi-puisi pun tak dibacakan secara monoton dan datar. Seperti Umar Wirahadikusuma alia Bombom kala membacakan karya Buya Hamka berjudul Siapa di Antara Kita yang Lebih Kejam dengan cara dramatisasi.