TEMPO.CO, Makassar - Dosen ilmu kelautan Universitas Hasanuddin, Ahmad Bahar, menduga jenazah, barang milik korban, dan serpihan pesawat AirAsia QZ8501 yang ditemukan di perairan Majene, Sulawesi Barat, dan Parepare, Sulawesi Selatan, terbawa arus Armando.
“Arus ini mengalir pada bulan Desember,” kata Bahar saat dihubungi Tempo. Bahar menjelaskan, pada Desember, cuaca berubah drastis karena terjadi perpindahan musim timur ke musim barat. Suhu udara, air, dan angin setiap saat bisa berubah.
Bahar mengatakan arus Armando adalah arus permukaan yang terbentuk karena embusan angin pada permukaan laut. Arus ini mengalir dari Laut Cina Selatan melewati Selat Karimata, dan masuk ke Laut Jawa. “Dari Laut Jawa, arus Armando masuk ke Selat Makassar,” ujar Bahar. (Baca: Pencarian AirAsia QZ8501 di Sulawesi Diperluas)
Menurut Bahar, arus Armando memiliki kecepatan rata-rata 5 knot. Dan, meski merupakan arus pada permukaan, pengaruhnya bisa sampai ke kedalaman 40 meter. Dengan demikian, wajar jika serpihan pesawat AirAsia QZ8501 bisa terseret oleh arus Armando. Apalagi lokasi jatuhnya di perairan (Selat Karimata) dangkal, sekitar 30 meter.
Mengenai adanya anggapan bahwa di sekitar perairan Majene mirip kawasan Segitiga Bermuda, yang menyebabkan pesawat dan kapal laut sering mengalami kecelakaan, Bahar mengatakan hal itu belum bisa dibuktikan. “Kemungkinan besar karena memang cuaca buruk pada bulan Desember yang menjadi penyebab kecelakaan. Jadi wajar, setiap kali pergantian tahun, selalu ada kecelakaan di laut dan udara,” kata Bahar (Baca: Nelayan Majene Temukan Tiga Paspor Korban AirAsia)
Bahar menambahkan, selain faktor arus, kemungkinan lain yang bisa menyebabkan jenazah dan barang korban AirAsia ditemukan di perairan Sulawesi adalah pesawat meledak dan pecah pada ketinggian atmosfer, sehingga terbawa angin yang saat itu berembus dari barat ke timur. “Bayangkan pesawat pecah di ketinggian, pasti pecahannya bisa berhamburan ke mana-mana, termasuk ke perairan Sulawesi,” kata Bahar. “Tapi analisis ini masih butuh pembuktian dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi.”
MUHAMMAD YUNUS