TEMPO.CO, Jakarta - Delegasi Dewan Adat dan tokoh masyarakat Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, provinsi Kalimantan Timur menemui sejumlah lembaga negara untuk mengadukan persoalan yang terjadi di tanah leluhur mereka.
Dari tanggal 27 Januari 2015 hingga 4 Februari 2015 , delegasi Dewan Adat dan tokoh masyarakat Dayak Wehea berkunjung ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Delegasi Dewan Adat Dayak Wehea ini menyampaikan tiga tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan pertama, pengakuan atas masyarakat adat Dayak Wehea dan hak ulayat.
Kemudian, Dewan Adat Dayak Wehea menuntut penghentian penerbitan izin baru untuk segala jenis usaha yang dapat merusak hutan adat, budaya, dan lingkungan hidup. "Saat ini perkebunan sawit, pertambangan, marak di lahan ulayat kami," kata Tleang Lung kepada Tempo di kawasan Matraman, Jakarta Timur, pekan lalu.
Soal tuntutan ini, kata Tleang Lung, etnis Dayak Wehea kecewa karena tidak diakui sebagai suku di Indonesia. "Sekali pun nenek moyang kami orang Wehea sudah menghuni bumi Borneo-Nusantara ini ribuan tahun yang lalu jauh sebelum NKRI berdiri," kata Tleang.
Menurut Thleang, sejak tahun 1972 penjarahan dan pengambilalihan fungsi tanah ulayat dan hutan adat Wehea oleh perusahaan-perusahaan logging, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan emas dan batubara telah mengakibatkan masyarakat adat Wehea kehilangan sumber hidupnya.
Selain itu, masyarakat Wehea yang tinggal di enam desa (kampung Bea Nehas, Diaq Lay, Dea Bek, Nehas Liah Bing, Long Wehea dan Diaq Leway) tergusur akibat ekspansi perusahaan-perusahaan logging maupun pertambangan.
Masyarakat Adat Wehea, ujar Thleang, sudah berupaya menjaga dan melestarikan hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Upaya itu telah membuahkan hasil dengan memperoleh pengakuan secara nasional dan internasional. Namun, penjarahan dan pengrusakan hutan telah mengancam upaya mereka melestarikan hutan.
Anggota Komnas HAM Nur Khoirun menjelaskan, Dewan Masyarakat Adat Dayak Wehea mengadukan perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan yang berimplikasi bagi perusakan hak hidup komunitas adata yang bergantung pada kelestarian hutan.
"Pengaduan ancaman hilangnya identitas mereka sebagai masyarakat adat karena belum ada pengakuan dari pemerintah," kata Nur Khoirun menjelaskan tuntutan berikutnya dari Dewan Adat Masyarakat Dayak Wehea kepada Tempo, 4 Februari 2015.
Dewan Masyarakat Adat Dayak Wehea, ia melanjutkan, juga mengadukan banyaknya kelompok pendatang yang menimbulkan gesekan, kecemburuan sosial dan ekonomi dengan masyarakat setempat.
MARIA RITA