TEMPO.CO , Jakarta- Juru bicara Badan Narkotika Nasional Komisaris Besar Slamet Pribadi menyatakan sebanyak 70 persen jaringan narkoba di Indonesia dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan sebagian besar penghuni penjara adalah kumpulan bandar, pengedar, dan pengguna narkoba.
"Angkanya tidak pernah turun dari tahun ke tahun, selalu naik," kata Slamet yang dihubungi pada Rabu, 4 Februari 2015.
Salah satu yang baru-baru ini terungkap adalah jaringan yang dikendalikan oleh warga negara Nigeria bernama. Sylvester Obiekwe Nwolise alias Mustopa. Sylvester adalah terpidana mati kasus narkoba yang dibui di Lapas Nusa Kambangan sejak 2004. Walau dibui, Sylvester bersama kawan satu penjaranya, Andik, tetap mampu mengendalikan jaringan yang akhirnya tertangkap di Papua Nugini, Surabaya, dan Jakarta.
Slamet mengatakan modus yang digunakan pengedar narkoba di dalam bui selalu sama. "Modusnya selalu menggunakan alat komunikasi yang dimasukkan secara sembunyi-sembunyi ke penjara," tutur Slamet.
Sylvester sendiri menggunakan handphone yang terhubung ke antena penguat sinyal. Perbuatan Sylvester terungkap setelah salah satu jaringannya tertangkap basah di Jakarta Pusat. Saat diusut, oknum yang tertangkap itu mengarah ke jaringan Sylvester. Setelah memeriksa Sylvester, BNN kembali menangkap dua orang atas nama RK dan R yang dikendalikannya dari balik tembok Nusa Kambangan.
Mengenai pemetaan peredaran narkoba di penjara, Slamet berujar kasus serupa ditemukan pada hampir semua lapas. "Mereka merupakan bagian dari 40-50 jaringan narkoba yang menjadi target selanjutnya," ucap Slamet.
Meski begitu, Slamet enggan menjelaskan mengapa peredaran narkoba marak dimotori orang di dalam penjara. "Itu wewenang lembaga pemasyarakatan, kami tidak bisa menjustifikasi instansi tertentu," ujarnya.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat mengatakan pengedar narkoba dapat beraksi di dalam penjara karena lemahnya pengawasan. Personil yang ada, kata Handoyo, tak sebanding dengan jumlah narapidana yang harus diawasi. Belum lagi, pada saat jam kunjungan, tamu yang datang ke lapas begitu banyak sehingga tak terawasi maksimal oleh penjaga.
Di Lapas Nusa Kambangan misalnya, rasio antara penjaga dan penghuni lapas Nusa Kambangan saat ini mencapai 1:45. Padahal, rasio ideal adalah 1:7. Kekurangan ini direncanakan Handoyo akan dicukupi dengan meminta bantuan personel dari Tentara Nasional Indonesia. Bintara dan polisi militer, ujar Handoyo, dapat dilimpahkan menjadi pegawai pemasyarakatan.
Tak hanya itu, sistem keamanan di lapas yang dihuni lebih dari 2.500 narapidana ini juga masih buruk. Teknologi pendukung seperti kamera cctv, detektor narkotika, dan detektor benda elektronik tidak tersedia di sana. Akibatnya, pengunjung maupun narapidana dapat dengan mudah menyelundupkan alat-alat komunikasi.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA