TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsudin mengeluhkan terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia menyayangkan penetapan satu per satu pimpinan KPK sebagai tersangka justru berangkat dari persoalan masa lalu sebelum proses seleksi komisioner lembaga antirasuah berlangsung.
"Dulu (‘Cicak vs Buaya’ pada 2009) antarlembaga negara saling menyandera, sekarang saling mengungkit," kata dia kepada wartawan di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu, 4 Februari 2015.
Menurut Din, dalam konteks kasus konflik antara KPK dan Polri sekarang, peran Presiden Joko Widodo sebagai penuntas masalah begitu sentral. Ketua Umum PP Muhammadiyah itu berpendapat, hanya Presiden yang bisa menangani konflik antarlembaga penegak hukum ini. "Ini butuh intervensi politik dan moral," ujarnya.
Kasus pengungkitan masalah masa lalu komisioner KPK, menurut Din, juga menyimpan pelajaran penting. Dia menyarankan Presiden tidak memberikan ruang bagi figur titipan partai politik dalam pengisian jajaran baru pimpinan KPK yang akan mulai diseleksi pada akhir 2015. "Nanti diungkit-ungkit lagi," tuturnya.
Meskipun demikian, dia juga meminta internal KPK memperhatikan keberadaan lembaganya, yang sejak awal berpotensi berbenturan dengan lembaga penegak hukum lain, dalam mengambil keputusan.
Din mencontohkan, keputusan KPK yang menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi setelah menjadi calon Kapolri. "Timing (waktu) dan caranya, tidak surati Presiden atau DPR dulu, hanya lewat konferensi pers," katanya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM