TEMPO.CO, Jakarta --Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo mengatakan mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat lebih memilih Pemilihan Kepala Daerah serentak 2016 mendatang. Alasannya supaya persiapan yang dibutuhkan lebih matang. “Tapi belum disepakati,” kata dia usai rapat harmonisasi Revisi Undang-undang Pilkada di Badan Legislasi, Kamis 5 Februari 2015.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad menyatakan lebih siap mengikuti Pilkada pada Februari 2016 mendatang. Hal ini telah disampaikan dalam usulan perubahan UU Pilkada dan koalisi merah putih. Dalam waktu dekat, partai berlambang beringin tersebut akan melakukan konsolidasi dengan berbagai pimpinan daerah.
“Ada tiga poin penting yang kami sampaikan ke daerah,” ujar Fadel. Tiga poin utama tersebut antara lain teknis persiapan Pilkada, beberapa kebijakan baru partai, dan ihwal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Lain halnya dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Azis Syamsuddin. Ia menyatakan Golkar siap melaksanakan Pilkada 2015 atau pun 2016. “Tergantung KPU dan Banwaslu-nya. Mereka siap kapan,” kata Azis.
Politikus Partai Demokrat Saan Mustopa menerangkan ada beberapa poin yang masih menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Pilkada, selain soal jadwalnya. Di antaranya ihwal uji publik, ambang batas kemenangan, model pemilihan, politik dinasti, serta syarat pendidikan calon.
Terkait ambang batas kemenangan, ada tiga opsi yang dilontarkan masing-masing fraksi, yakni 25 persen, 30 persen, dan tanpa batasan (pemenang adalah peraih suara terbanyak). Adapun partai yang setuju dengan ambang batas 30 antara lain PDIP, Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Golkar. Sisanya, menginginkan ambang batas sebanyak 25 persen.
Saat ditanya potensi Pilkada dua putaran akibat ambang batas yang terlalu tinggi, Arif menepisnya. Menurut dia, alasan itu hanya sebagai anomali saja. Buktinya, dari Pilkada periode lalu, hanya ada tujuh kabupaten/kota yang mengadakan Pilkada dua kali putaran. “Kalau verifikasinya baik, tidak akan sampai dua kali putaran,” tuturnya.
Justru, kata Arif, sistem pemilihan tanpa ambang batas kemenangan akan berpotensi besar menimbulkan konflik. “Bahaya, tidak ada aspek keguyuban. Negeri kita ini kan aneh, yang dapat suara terbanyak malah dimusuhi,” ujarnya.
Ihwal model pemilihan, kata Saan, ada beberapa yang menginginkan sistem paket. “Tapi, Demokrat sendiri ingin tidak paket,” ujarnya.
Saan berpendapat sistem paket rentan dengan konflik antara kepala daerah dan wakilnya. Penyebabnya adalah keduanya merasa mempunyai kewenangan yang sama besar. Alhasil, konflik tersebut berdampak pada pelayanan publik yang tidak optimal.
“Padahal wakil hanya sebagai membantu pelaksanaan visi kepala daerah. Nanti kalau konflik, malah mengganggu jalannya pemerintahan,” tutur Arif.
DEWI SUCI RAHAYU