TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengatakan pengaturan pemerintah ihwal penyebutan nama Presiden Joko Widodo seperti kembali ke zaman Orde Lama dan Orde Baru. Sebab, menurut dia, sejak era reformasi, pemerintah tak pernah mempermasalahkan penyebutan nama Presiden Indonesia.
"Sejak 1998 hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir, tak pernah terjadi pengaturan penyebutan nama presiden. Ini balik lagi ke masa-masa lama," ujar Siti saat dihubungi, Jumat, 6 Februari 2015.
Pengaturan tersebut tercantum dalam surat edaran Kementerian Dalam Negeri yang dibuat pada 26 Januari 2015. Dalam surat yang diteken Sekretaris Jenderal Kemendagri Yuswandi Temenggung itu, nama Presiden Joko Widodo di berbagai acara kenegaraan harus disebut "Yang Terhormat, Presiden Republik Indonesia, Bapak Jokowi".
Siti menilai surat edaran itu tak penting. "Apa relevansinya, urgensinya, dan signifikansinya? Sebaiknya, Kemendagri tak usah lebay," ujarnya.
Justru Siti merasa Kemendagri melanggar hak asasi manusia kalau urusan penyebutan nama presiden diatur-atur. "Apalagi kalau sampai ada yang ditindak karena menyebut tak sesuai dengan surat edaran," tuturnya.
"Semua orang sudah tahu Joko Widodo itu presiden, bukan Joko Widudu, misalnya. Bukan pula Jusuf Kalla, misalnya," kata Siti. "Sebaiknya Kemendagri mengurusi pemerintahan daerah saja ketimbang bikin peraturan soal penyebutan nama Presiden Jokowi."
MUHAMAD RIZKI