TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pemilihan Umum Hadar Navis Gumay mengatakan saat ini lembaganya tengah mengkaji kemungkinan penggunaan perangkat elektronik atau e-voting untuk memberikan suara dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan serentak. "Kami akan bentuk tim khusus untuk mengkaji kesiapan daerah," kata Hadar dalam diskusi tentang teknologi dalam pemilu, Kamis, 5 Februari 2015.
Penerapan e-voting merupakan implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disahkan sebagai undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu. Pada pasal 85 ayat 1 undang-undang itu disebutkan bahwa pemberian suara dalam pilkada dapat dilakukan melalui peralatan pemilihan suara elektronik. Sedangkan pasal 98 ayat 3 menyatakan, bila suara diberikan dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan secara manual dan/atau elektronik.
Menurut Hadar, tim pengkaji tak hanya berasal dari lingkup internal KPU, tapi juga kalangan eksternal, seperti akademikus dan aktivis pemilu, yang bertugas melihat kesiapan daerah untuk menerapkan teknologi e-voting. Tim paling lama terbentuk akhir bulan ini dan mulai bertugas Maret mendatang. "Mengenai waktu dan bagaimana teknis pelaksanaan nanti bergantung pada rekomendasi tim," ujar Hadar.
Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andrari Grahitandaru mengatakan, bila jadi dipakai dalam pilkada, e-voting bisa dilaksanakan dengan mencontoh sistem pemilihan kepala desa secara elektronik yang sudah diterapkan di beberapa daerah. "Pemilihan elektronik sebaiknya tak dilakukan serentak, dan dimulai dari daerah yang telah sukses melaksanakan pilkades elektronik," katanya.
Andrari mengatakan, sejak 2009, BPPT telah melaksanakan uji coba pemilihan elektronik di beberapa desa. Tiga daerah yang dinilai sukses melaksanakan pemilihan elektronik yakni Musi Rawas, Sumatera Selatan; Boyolali, Jawa Tengah; dan Jembrana, Bali. Di Musi Rawas, 60 dari 102 desa telah melakukan pemilihan secara elektronik. Sedangkan di Jembrana, seluruh desa dinilai sudah siap menerapkan teknologi itu. "Karena itu, BPPT setuju bila sistem elektronik ini diterapkan di tingkat pilkada, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan penuh kehati-hatian," ujar Andrari.
Pengamat tata negara dari Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, menilai, untuk saat ini, sistem pemilihan elektronik masih sulit diadopsi dalam pilkada. Ramlan menduga pemilihan elektronik tak cocok dengan kebiasaan masyarakat, sehingga berpotensi mengurangi tingkat partisipasi publik. "Penerapan e-voting justru dapat menghapus rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara," ujar Ramlan.
Ramlan juga menyebutkan keruwetan dan kelemahan mesin pemungutan dan penghitungan suara dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu. Persebaran penduduk yang tidak merata di semua daerah juga akan menjadi masalah. Selain itu, kata dia, sistem e-voting tak memberi jaminan kepada masyarakat berkebutuhan khusus untuk bisa berpartisipasi. "Pemilu juga akan jadi elitis karena hanya melibatkan segelintir orang, sehingga menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat," ujar Ramlan.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto mengatakan, dibanding memikirkan e-voting, KPU sebaiknya berfokus menyiapkan perangkat dan membenahi sistem pemilihan. "Masalah pokok pemilu dan pilkada sesungguhnya terjadi dalam proses rekapitulasi," ujar Didik.
Karena itu, menurut dia, saat ini yang lebih penting adalah menyiapkan prosedur baku penghitungan suara. "Yang dibutuhkan sesungguhnya e-counting, yaitu perangkat yang bisa merekam dengan akurat, cepat, dan bisa diverifikasi atas hasil penghitungan suara di TPS," ujar Didik.
IRA GUSLINA SUFA