TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional berencana menghapus pajak bumi dan bangunan serta nilai jual obyek pajak (NJOP). Hal itu untuk melindungi warga yang tinggal di perkotaan di daerah elite tapi tidak memiliki pendapatan lebih, serta mengerem kapitalisasi harga tanah dan mencegah pengembang menjadi makelar tanah.
Penghapusan PBB itu ditanggapi positif oleh warga di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Yanti, 48 tahun, pemilik warung makan dekat toko Holland Bakery, Jalan Sultan Iskandar Muda, mengaku belum mendengar kabar itu. Namun dia senang kalau penghapusan PBB benar terlaksana.
Menurut Yanti, sejak tahun 2014, pajak yang dibayarkan meningkat drastis. "300 persen," kata Yanti di warungnya, Jumat, 6 Februari 2015. Namun dia tidak mau memberi tahu besaran pajak yang dibayarkan untuk warung yang berada di rumah Yanti.
Pardede, 55 tahun, pemilik ruko di Jalan Iskandar Muda, mengatakan PBB dulu sangat memberatkan. "Naik 500 persen," katanya saat dihubungi. Ruko enam lantai yang dimiliki Pardede itu kosong dan akan disewakan sebesar Rp 400 juta per tahun. "Mahal, saya tidak mau menyebut."
Camat Kebayoran Lama, Munjirin, mengatakan akan mengikuti jika peraturan itu diterapkan. Menurut dia, sudah banyak warga yang mengeluh sejak PBB dinaikkan 300 persen pada 2014.
Walau banyak warga mengeluh, kata Munjirin, penerapan kenaikkan pajak itu rumit pada saat kenaikan. Namun sekarang sudah berjalan lancar. "Kalau Pak Ahok setuju, pasti warga juga senang pajaknya turun," katanya saat dihubungi.
Sebelumnya, rencana penghapusan PBB dan NJOP itu dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ferry Mursyidan, pada 2 Februari 2015. Usulan penghapusan pajak itu, kata Ferry, akan dibicarakan saat sidang kabinet di Istana Negara. Jika tidak ada halangan, kebijakan itu paling cepat akan diterapkan pada 2016.
HUSSEIN ABRI YUSUF