TEMPO.CO, Jakarta- Sejumlah akademikus dan praktisi lintas bidang berkumpul di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) membahas sejumlah rekomendasi untuk Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) keenam pada Ahad, 8 Februari 2015. Forum bertajuk Workshop Peran Strategis Intelektual Muslim, yang digelar oleh Pusat Studi Pembangunan Hukum Lokal UII, itu mengusulkan agar masalah kemiskinan menjadi perhatian di dalam kongres. Adapun KUII akan berlangsung mulai 9 sampai 10 Februari 2015 di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta.
Ketua Pusat Studi Pembangunan Hukum Lokal, Fakultas Hukum UII, Jawahir Thontowi mengatakan forum ini menyarankan agar kongres lima tahunan itu tidak hanya membahas masalah wacana keagamaan. Menurut dia isu penuntasan krisis kebangsaan, yang memicu kemiskinan masyarakat muslim sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, perlu menjadi perhatian kongres. "Masih ada kekosongan di isu ini (pembahasan di kalangan Organisasi Islam)," kata Jawahir seusai memandu workshop tersebut pada Ahad sore.
Menurut Jawahir, idealnya kongres itu juga diisi dengan kajian yang melihat persoalan masyarakat muslim di Indonesia dari sudut pandang pemberdayaan kelompok marjinal. Lalu, merumuskan solusi berupa program yang mungkin bisa segera dikerjakan bareng oleh MUI bersama ormas-ormas Islam di sektor sosial, ekonomi, politik dan budaya. "Ada programnya, mungkin dilakukan dan targetnya jelas," kata dia.
Dia mencontohkan, ada rekomendasi agar isu kedaulatan pangan menjadi perhatian kongres. Para peserta forum menyarankan agar masalah pangan dibahas dari perspektif masih banyaknya pemiskinan ke komunitas petani, yang mayoritas, beragama Islam. "Pembangunan dari pinggiran, seperti digagas oleh Presiden Joko Widodo, perlu didukung dengan program nyata," kata dia.
Karena kebutuhannya penuntasan kemiskinan, Jawahir berpendapat, kongres juga perlu memikirkan masalah konsolidasi organisasi-organisasi masyarakat maupun partai politik berbasis Islam. Saat ini, menurut dia, problem utamanya ada di krisis kepemimpinan yang memicu tersendatnya kaderisasi di ormas-ormas dan partai Islam. "Kami ingin kongres merumuskan konsep pendidikan kaderisasi organisasi Islam untuk mengisi kepemimpinan nasional," kata dia.
Jawahir mencatat para peserta forum mengusulkan ada pola kaderisasi berupa pelibatan aktivis organisasi Islam untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Tujuannya, menurut dia, mengembalikan orientasi nilai para calon pemimpin ke tokoh-tokoh Islam yang menjadi pendiri negara Indonesia. "Agar mereka tidak pragmatis," kata dia.
Orientasi pemecahan problem masyarakat, Jawahir menambahkan, otomatis juga memerlukan restrukturisasi organisasi MUI agar lebih efektif melaksanakan program pemecahan masalah umat Islam. Misalnya, mengubah model kepemimpinan organisasi ini dengan memakai konsep kepemimpinan sekretaris jenderal agar birokrasi tidak bertele-tele. Perwakilan ormas-ormas Islam besar bisa masuk di dewan umum yang berwenang mengontrol organisasi.
Struktur itu, menurut Jawahir, bisa dilengkapi dengan pembentukan badan-badan yang aktif bekerja di daerah-daerah untuk kebutuhan pelayan umat Islam. Dia mencontohkan badan-badan itu bisa bekerja untuk pemberdayaan ekonomi, pendidikan hingga penuntasan konflik. "MUI juga butuh konstitusi (dasar organisasi) kuat supaya lembaga ini kharismatik," kata dia.
Forum itu dibuka oleh Ketua Umum MUI, Din Syamsudin. Sejumlah akademikus juga hadir seperti Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Edi Suwandi Hamid, pakar pangan UGM Maksum Machfoedz, pakar kajian Timur Tengah, Siti Muthiah dan budayawan, Ahmat Thohari. Ada juga perwakilan pengurus Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), sejumlah praktisi lembaga pendampingan berbasis Islam di isu hukum, tanah, petani dan kredit usaha kecil.
Sejumlah pakar memang melontarkan gagasan yang mendorong KUII keenam membahas persoalan dengan spektrum luas menjangkau beragam problem pemicu kemiskinan. Misalnya, Edi Suwandi Hamid mewacanakan pentingnya pembahasan dukungan bagi ekonomi kerakyatan di kongres.
Sementara pakar pertanian UGM, Maksum Machfoedz mendorong ormas-ormas Islam serius menggarap pemberdayaan petani sebagai pentuk jihad untuk kedaulatan pangan. Adapun Siti Muthiah menyoroti kebutuhan mendesak solusi bagi masalah nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama pekerja perempuan, di negara-negara Islam.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM