TEMPO.CO, Surabaya - Presiden Republik Indonesia periode 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kekuasaan yang besar berpotensi disalahgunakan. Yudhoyono mengingatkan itu saat mengisi kuliah umum mahasiswa baru pendidikan profesi, spesialis, dan pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. "Ingat, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely," ujar Yudhoyono di aula Garuda Mukti Unair, Selasa, 10 Februari 2015.
Menurutnya, presiden dengan kekuasaan yang dimiliki harus bekerja demi kepentingan masyarakat, bukan menyalahgunakannya demi kepentingan pribadi dan golongannya. Presiden juga harus bekerja keras di atas segala-galanya meskipun menghadapi politik yang gaduh, kritik, hujatan, serta harapan rakyat yang sering kali teramat tinggi dan berlebihan.
Yudhoyono juga mengambil contoh kekuasaan parlemen yang besar justru tidak produktif bila dipertentangkan dengan eksekutif sehingga pemerintah tidak dapat bekerja dengan baik. Selain itu, lembaga penegak hukum yang memiliki kekuasaan besar seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi hendaknya berlaku adil, amanah, dan penuh rasa tanggung jawab.
"Begitu juga kekuasaan kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka karena diduga melakukan kejahatan, perlu digunakan secara cermat dan tidak gegabah agar tidak merusak keadilan," ujarnya.
Media massa juga tak lepas dari sentilan Yudhoyono. Dengan kebebasan yang dimiliki, SBY berharap pers menahan diri untuk tidak mengeluarkan pemberitaan-pemberitaan yang tidak akurat, tidak fair, dan tidak berimbang agar tidak merugikan orang-orang yang belum tentu bersalah.
"Melihat itu semua, kekuasaan tidak hanya tertuju kepada presiden, tapi juga kepada pimpinan dan penyelenggara negara. Oleh karena itu jangan pernah menyalahgunakan kekuasaan," ujar Yudhoyono.
Kuliah umum Yudhoyono turut dihadiri Gubernur Jawa Timur Soekarwo, mantan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Ketua Majelis Wali Amanah Unair yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Nuh, serta mantan Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tandjung.
EDWIN FAJERIAL