TEMPO.CO, Jakarta - Penguatan dolar dipicu oleh ekspektasi investor atas perbaikan ekonomi di Amerika Serikat dalam jangka panjang.
Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah ditutup melemah 18 poin (0,14 persen) ke level 12.670 per dolar AS. Rupiah sempat menguat ke level 12.640 per dolar pada awal perdagangan sebelum akhirnya melemah di akhir sesi.
Analis kuantitatif dari PT Bank Mandiri Tbk, Reny Eka Putri, mengatakan sebenarnya data-data ekonomi yang dirilis belakangan ini cenderung menopang penguatan rupiah, dari deflasi, surplus perdagangan, hingga meningkatnya cadangan devisa.
Pelemahan rupiah, menurut Reny, lebih disebabkan oleh turunnya gairah beli investor untuk membeli aset-aset yang dengan profil risiko yang tinggi, walaupun imbal hasilnya juga tinggi. "Karena itu, pelaku pasar memilih untuk memburu dolar sebagai aset paling minim risiko," kata Reny.
Dari Amerika Serikat, ujar Reny, data-data ekonomi yang dirilis masih cenderung variatif dan bukan menjadi penyebab penguatan dolar. Reny menduga aksi beli dolar oleh pelaku pasar lebih disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi AS jangka panjang yang lebih baik dibanding pada 2014.
Saat yang bersamaan, menurut Reny, outlook pertumbuhan ekonomi Eropa, Cina, Jepang, dan pasar negara berkembang lain semakin dipangkas oleh Bank Dunia. Bahkan neraca impor Cina pada Januari turun tajam hingga 18 persen, menunjukkan permintaan industri Cina semakin lesu. "Ditambah lagi, masih ada krisis Yunani. Pelaku pasar mencoba bersikap rasional dengan menahan dolarnya," tutur Reny.
Tren penguatan dolar semakin terkonfirmasi, menyusul rencana bank sentral AS (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga pada kuartal kedua 2015. Sementara itu, rencana penerbitan stimulus moneter 60 miliar euro per bulan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) akan cenderung melemahkan mata uang 17 negara.
M. AZHAR (PDAT)