TEMPO.CO , Jakarta: Museum Wayang, terletak di sisi timur Museum Fatahillah, di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, tampak bergeliat di akhir pekan. Ratusan pengunjung memasuki pintu museum satu per satu, kadang berdua-dua.
Dari luar, museum sepintas seperti rumah bertingkat peninggalan Belanda biasa dengan cat berwarna putih hijau, tak mencolok. Melewati pintu masuk, tepat di sisi kanan, pengunjung wajib menukarkan uang menjadi tiket yang harus ditunjukkan ke petugas keamanan berseragam hitam-hitam. Harga tiket bervariasi, Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk pelajar, tentu saja jika datang berombongan minimal 30 orang akan dikenai tarif yang berbeda.
Tak seperti hari biasa, Ahad merupakan puncak kunjungan pengunjung. "Kalau libur seperti ini biasanya 20 sampai 30 bendel karcis akan habis," kata Didik, pegawai honorer Museum Wayang yang berperan dalam hal mengatur koleksi dan guide yang juga bertugas di loket karcis kepada Tempo, Ahad 8 Februari 2015. Ia mengambil segepok bendelan kertas berwarna biru sambil menuturkan segepok bendelan itu berisi 100 lembar tiket. Jadi, kata dia, Museum Wayang boleh berjumawa lantaran dapat menarik 20 ribu hingga 30 ribu pengunjung per hari pada hari libur.
Karakter pengunjung pada hari libur dan hari biasa berbeda. Hari biasa, pengunjung yang datang biasanya dalam rombongan. "Anak-anak sekolah study tour atau rombongan mahasiswa yang sedang tour," kata dia.
Sementara jika hari libur seperti hari ini, pengunjung yang datang kebanyakan keluarga dan pasangan muda-mudi yang asik berfoto atau berpegangan tangan sambil sesekali berhenti di salah satu pajangan wayang. Tak jarang sekelompok anak muda datang dalam jumlah 5-7 orang, berfoto sambil menggerakkan wayang golek yang dipajang, bergegas menuju ruangan lain lalu pulang, melewatkan pertunjukan wayang di ruang pagelaran. "Kunjungan singkat seperti itu biasa terjadi, tapi minimal mereka mengetahui wayang dan tertarik untuk datang karena wayang," kata pria asli Pacitan ini.