TEMPO.CO , Jakarta: Target penyelesaian sodetan Kali Ciliwung dipastikan meleset jauh. Semula sodetan ditargetkan rampung pada Maret 2015. Tapi, karena pembebasan lahan warga di Bidara Cina belum dilaksanakan, target direvisi hingga akhir tahun ini.
Camat Jatinegara, Syofian Thaher, menduga alotnya negosiasi dengan warga Bidara Cina karena mereka tak mau digusur. Lantas, warga menuntut pemerintah membayar tanah dan bangunan dengan harga tinggi. Mereka berharap pembebasan lahan urung terlaksana. "Mereka sepertinya tak punya sertifikat resmi kepemilikan tanah sehingga ngotot tak mau digusur," kata Syofian kepada Tempo di kantornya, Senin, 9 Februari 2015.
Dia menyebut ada 299 peta bidang di Bidara Cina yang harus dibebaskan. Tapi, baru 48 peta bidang yang bisa diukur oleh tim panitia pembebasan tanah per Januari 2015. Sisanya belum diukur karena ditolak warga dengan beragam alasan, mulai dari dugaan kecurangan tim pengukur hingga belum disampaikannya harga ganti untung oleh pemerintah.
Sugiyanto, 43 tahun, mengakui bila dia tak punya sertifikat kepemilikan tanah. Klaim atas tanah dan rumah dua tingkatnya seluas 3x6 meter itu hanya berdasar pada akta jual beli yang diperoleh pada 1980. "Waktu itu belinya masih murah," kata warga RT 08 RW 04, Kelurahan Bidara Cina ini.
Meski tak punya sertifikat tanah, dia bersikeras menuntut harga ganti untung atas tanah dan bangunan miliknya dengan harga selangit. "Paling tidak 10 kali lipat dari Nilai Jual Objek Pajak yang sekitar Rp 2,7 juta per meter persegi," kata Sugiyanto.
Menurut dia, besaran harga ganti untung itu ditetapkan warga setelah mengetahui harga tanah pom bensin Jalan Otista Raya, persis di muka jalan masuk kampung warga, yang pernah dibeli hingga Rp 50 juta per meter persegi. Sehingga, kata Sugiyanto, banderol yang dituntut warga dinilai tak berlebihan.
Rosmaningsih, warga RT 10 RW 04, bernasib sama dengan Sugiyanto. Dia tak punya bukti resmi kepemilikan tanah. Dia menyebut tanah miliknya diperoleh secara turun menurun. "Orang tua saya yang pertama kali menempati rumah ini," tuturnya. Dia bungkam tatkala ditanya kemungkinan pemerintah menagih bukti kepemilikan tanah saat hendak membayarkan ganti untung. "Tak ada yang bisa saya tunjukkan," kata perempuan 45 tahun itu dengan suara lirih.
Sementara itu, Wali Kota Jakarta Timur, Bambang Musyawardhana, menyebut pemerintah sedang meneliti kepemilikan tanah di Bidara Cina untuk mengatasi dugaan warga tak punya sertifikat. Penelitian itu di bawah kendali Badan Pertanahan Nasional. "Biar semuanya jelas," ujarnya.
Ihwal harga ganti untung yang diminta warga, Bambang menilai tuntutan itu tak masuk akal. Dia menjelaskan warga Bidara Cina berhak menegosiasikan biaya ganti untung yang mereka kehendaki, tapi harus berlandaskan asas kepatutan. "Harga itu sudah dapat membeli tanah di kawasan premium Jakarta," kata Bambang.
Dia menambahkan pemerintah terus berupaya menggelar negosiasi dengan warga Bidara Cina. Namun, pemerintah juga punya tenggat waktu agar proyek sodetan selesai tepat waktu. Bila warga masih resisten, pemerintah tak segan mengambil solusi terakhir. "Surat peringatan pertama, kedua, tak digubris, maka pemerintah terpaksa menertibkan dan konsinyasi pengadilan," ujarnya.
RAYMUNDUS RIKANG