TEMPO.CO , Semarang: Pemerintah daerah diminta tegas menutup usaha pakaian bekas yang diimpor oleh para pedagang. Permintaan itu terkait masih banyaknya pedagang pakaian bekas yang menjajakan ke masyarakat meski pemerintah pusat sudah melarang.
“Pemda harus tegas menutup dan memberikan sanksi. Apalagi penjualan pakaian bekas itu melanggar dua undang-undang sekaligus,” kata Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang, Ngargono.
Menurut Ngargono, penjualan pakaian bekas atau sering disebut awul-awul oleh masyarakat itu tak sesuai dengan Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. “Di situ jelas mengatur dan melarang penjualan barang bekas,” ujar Ngargono.
Ngargono meminta pemerintah daerah menyegel dan menutup secara total aktivitas penjualan pakaian bekas. Tercatat, di Kota Semarang masih terjadi aktivitas penjaualan pakaian bekas di antaranya di Banyumanik, kawasan Beringin, Kecamatan Ngalian, serta di pinggir Jalan Simongan.
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Kota Semarang menyarankan agar pemerintah daerah juga membantu para pedagang mengembalikan pakaian bekas ke distributor dan importir langsung. Langkah ini untuk menghindari tingkat kerugian para pedagang yang selama ini khawatir larangan penjualan akan merugikan mereka.
“Biar yang rugi para importir dan pemodalnya saja,” kata Ngargono.
Ngargono menilai tindakan tegas pemerintah daerah itu juga akan berdampak postif terhadap perekonomian di daerah, khususnya industri kreatif pakaian yang saat ini masih banyak diproduksi di rumahan. Ketegasan pemerintah daerah ini juga akan membuat akses pemasaran produsen pakaian lokal mudah.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi meminta agar pedagang pakaian impor bekas bertanggung jawab jika tetap nekad berjualan pakaian impor bekas. Hendrar mengancam mengancam akan menarik pakaian bekas yang dijual tidak sesuai aturan. Langkah itu dilakukan untuk memunculkan kerugian bagi pembeli yang rata-rata masyarakat golongan ekonomi lemah.
Hendrar mengaku telah mensosialisasikan kepada masyarakat agar tidak membeli pakaian bekas sembarangan. “Tapi kenyataannya, minat beli masyarakat tetap tinggi. Apalagi dengan iming-iming pakaian tersebut original,” katanya.
EDI FAISOL